Selasa, 26 Juli 2011

TEORI BELAJAR HUMANISME ARTHUR W. COMBS MEANING (1912-1999)

TEORI BELAJAR HUMANISME
ARTHUR W. COMBS MEANING (1912-1999)
Oleh : Dadang, S. Ag,S.IPI.,M. Pd.I



A. PENDAHULUAN
Secara luas teori belajar selalu dikaitkan dengan ruang lingkup bidang psikologi atau bagaimanapun juga membicarakan masalah belajar ialah membicarakan sosok manusia. Ini dapat diartikan bahwa ada beberapa ranah yang harus mendapat perhatian. Ranah-ranah itu ialah ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotor (http://alkohol7.wordpress.com. 15 April 2010).
Teori belajar pada umumnya dibagi menjadi empat golongan, yaitu teori belajar keperilakuan (behaviorism), teori belajar kognitivisme, teori belajar humanisme, dan teori belajar sibernetika. Teori belajar keperilakuan (behaviorisme) menekankan pada hasil dari proses belajar, teori belajar kognitif menekankan pada proses belajar. Teori perikemanusiaan/humanisme (humanism) menekankan pada isi atau apa yang dipelajari. Sedangkan teori sibernetika menekankan pada sistem informasi yang dipelajari (Nursalam dan Ferry Effendi 2007, hlm. 17).
Tokoh penting dalam teori belajar humanisme secara teoritik antara lain adalah: Arthur W. Combs, Abraham Maslow dan Carl Rogers. Salah satu tokoh penting dari Teori Humanistik ini ialah Arthur W. Combs ( 1912-1999 )( http://abdundari.blogspot.com.html 15 April 2010).
Namun dalam makalah ini penulis lebih fokuskan pada teori belajar humanisme Arthur W. Combs, dimana penjelasannya akan di bahas pada pembahasan di bawah ini.

B. PEMBAHASAN
1. Sekilas Teori Belajar Humanistik
Hampir semua ahli telah mencoba merumuskan dan membuat interpretasi tentang belajar. Seringkali perumusan dan tafsiran itu berbeda satu sama lain. Menurut Oemar Hamalik (2010, hlm. 37), belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku individu melalui interaksi dengan lingkungannya.
Sedangkan menurut Thursan Hakim (2007, hlm. 1 ), “Belajar adalah suatu proses perubahan di dalam kepribadian manusia, dan perubahan tersebut ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman, keterampilan, daya pikir, dan lain-lain kemampuan”.
Dari definisi di atas, dapat digaris bawahi bahwa peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seseorang diperlihatkan dalam bentuk bertambahnya suatu kualitas dan kuantitas kemampuan orang itu dalam berbagai bidang. Jika di dalam suatu proses belajar seseorang tidak mendapatkan suatu peningkatan kualitas dan kuantitas kemampuan, dapat dikatakan orang tersebut belum mengalami proses belajar atau dengan kata lain ia mengalami “kegagalan” di dalam proses belajar.
Dalam proses pembelajaran, para ahli membagi beberapa teori dalam memahaminya, karena dengan teori ini para ahli dapat mengklasifikasi aktivitas pembelajaran, diantara teori belajar yang dikenal dan akan dibahas tentang teori belajar humanisme. Menurut Teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya (http://amatamet.wordpress.com.humanisme. 15 April 2010).
Istilah “humanisme” adalah temuan dari abad ke-19. Dalam bahasa Jerman Humanismus pertama kali diciptakan pada tahun 1808, untuk merujuk pada suatu bentuk pendidikan yang memberikan tempat utama bagi karya-karya klasik Yunani dan Latin. Dalam bahasa Inggris “humanism” mulai muncul agak kemudian. Pemunculan yang pertama dicatat berasal dari tulisan Samuel Coleridge Taylor (1812), di mana kata itu dipergunakan untuk menunjukkan suatu posisi Kristologis, yaitu kepercayaan bahwa Yesus Kristus adalah murni manusia. Kata itu pertama kali dipakai dalam konteks kebudayaan pada tahun 1832 (Alister E. Mcgrath 2006, hlm. 53).
Teori-teori belajar sejauh ini telah menekankan peranan lingkungan dan faktor-faktor kognitif dalam proses belajar mengajar. Teori humanistik secara jelas menunjukkan bahwa belajar dipengaruhi oleh bagaimana siswa-siswa berpikir dan bertindak, dan dipengaruhi dan diarahkan oleh arti pribadi dan perasaan-perasaan yang mereka ambil dari pengalaman belajar mereka.
Menurut Sri Esti. W Djiwandon (2002, hlm. 181), ahli-ahli teori humanistik menunjukkan bahwa 1) tingkah laku individu pada mulanya ditentukan oleh bagaimana mereka merasakan dirinya sendiri dan dunia sekitarnya, dan 2) individu bukanlah satu-satunya hasil dari lingkungan mereka seperti yang dikatakan oleh teori ahli tingkah laku, melainkan langsung dari dalam (internal), bebas memilih, dimotivasi oleh keinginan untuk aktualisasi diri (self aktualization) atau memenuhi potensi keunikan mereka sebagai masusia.
Humanisme lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia. Pendekatan ini melihat kejadian yaitu bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak positif ini yang disebut sebagai potensi manusia dan para pendidik yang beraliran humanisme biasanya memfokuskan pengajarannya pada pembangunan kemampuan positif ini. Kemampuan positif disini erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat dalam domain afektif, emosi adalah karakterisitik yang sangat kuat yang nampak dari para pendidik beraliran humanisme.
Dari perspektif humanistik, pendidik seharusnya memperhatikan pendidikan yang lebih responsif terhadap kebutuhan kasih sayang (affektive) siswa. Kebutuhan afektif adalah kebutuhan yang berhubungan dengan emosi, perasaan, nilai, sikap, predisposisi dan moral Sri Esti. W Djiwandon (2002, hlm. 181).

2. Biografi Singkat Arthur W. Combs
Arthur W. Combs (1912-1999) adalah seorang pendidik / psikolog yang memulai karir akademis sebagai profesor ilmu biologi dan psikolog sekolah di sekolah umum di Alliance, Ohio (1935-1941). Ia menerima gelar MA dalam Konseling, sekolah di The Ohio State University (1941) dan diterima di program doktor dalam psikologi klinis pada lembaga, di mana Carl Rogers menjabat sebagai guru dan mentor. Dia menyelesaikan gelar doktor pada tahun 1945(http://www.oac.cdlib.org/data/13030/1x/ft8r29p11x/files/ft8r29p11x.pdf 15 April 2010).
Arthur W. Combs began his professional career in the public schools of Alliance, Ohio in 1935. To improve his skills in helping students, he sought a doctorate in clinical Psychologi at Ohio state and spent the next ten years operating a psychological clinic and training students and counceling and psychoterapy at syracuse University (Arthur W. Combs, 2006, hlm. ii). (Arthur W. Combs memulai karir profesionalnya di sekolah umum, Alliance, Ohio pada tahun 1935. Untuk meningkatkan keahliannya dalam membantu siswa, ia mencari gelar doktor di Klinik Psikologi di negara bagian Ohio dan menghabiskan sepuluh tahun berikutnya untuk mengoperasikan klinik dan pelatihan siswa dan konseling psikologis di Syracuse University dan psychoterapy).
Pada tahun 1949 ia terpilih sebagai Presiden Asosiasi Psikologi di New York dan pada tahun yang sama ia turut menulis (dengan Donald L. Snygg) perilaku individu: kerangka kerja baru untuk psikologi. Buku ini menyajikan suatu kerangka komprehensif dan sistematis untuk membuat rasa terbaik dari pengalaman manusia, perilaku dan hubungan antara keduanya (http://www.oac.cdlib.org/data/13030/1x/ft8r29p11x/files/ft8r29p11x.pdf 15 April 2010).

3. Karya-karya Arthur W. Combs
Supaya pembahasan lebih lengkap alangkah baiknya diketahui buku atau karya Arthur W. Combs. Walaupun pemakalah menemui kesulitan dalam melacak karya-karya Arthur W. Combs, melalui penelusuran internet ditemukan karya-karya beliau pada otomasi.unnes.ac.id.
Adapun buku-buku karangan Arthur W. Combs antara lain:
1. Myths in education: beliefs that hinder progress and their alternatives(mitos dalam kepercayaan yang dapat menghambat kemajuan pendidikan dan alternatif mereka)
2. Myths in education (mitos dalam pendidikan)
3. Myths and symbols in indian art and civilization(mitos dan simbol-simbol dalam seni dan peradaban indian)

4. Prinsip-prinsip Belajar Humanisme
Prinsip belajar humanisme terdiri dari (http://wawan-junaidi.blogspot.com).
1. Manusia mempunyai belajar alami
2. Belajar signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempuyai relevansi dengan maksud tertentu
3. Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya
4. Tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasarkan bila ancaman itu kecil
5. Bila ancaman itu rendah terdapat pangalaman siswa dalam memperoleh cara
6. Belajar yang bermakna diperolaeh jika siswa melakukannya
7. Belajar lancar jika siswa dilibatkan dalam proses belajar
8. Belajar yang melibatkan siswa seutuhnya dapat memberi hasil yang mendalam
9. Kepercayaan pada diri pada siswa ditumbuhkan dengan membiasakan untuk mawas diri
10. Belajar sosial adalah belajar mengenai proses belajar

5. Teori Belajar Menurut Arthur W. Combs
Bersama dengan Donald Snygg (1904 - 1967) mereka mencurahkan banyak perhatian pada dunia pendidikan. Meaning (makna atau arti) adalah konsep dasar yang sering digunakan. Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu, guru tidak bisa mamaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa matematika atau sejarah bukan karena bodoh tetapi karena mereka tidak mau dan terpaksa serta merasa sebenarnya tidak ada alasan penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu sesungguhnya tak lain hanyalah dari ketidakmauan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya (http://community.gunadarma.ac.id/).
Mencermati kondisi di atas, seorang guru hendaknya memahami betul karakter siswa, dengan cara melihat potensi yang terdapat pada diri anak. Sebagai ilustrasi; seorang Ahmad Dani tidak begitu pintar matematikanya, namun dia memiliki kelebihan dalam dunia musik yang sampai saat ini menempatkan dia sebagai musisi teratas.

Seorang guru sebagai fasilitator hendaknya dapat mencermati realitas siswa yang tidak menyukai materi yang diberikan. Guru diharapkan melihat kondisi bakat siswa yang ada pada dirinya. Karena bakat, potensi dimiliki masing-masing oleh siswa siswa.
Menurut Combs sebagaimana dikutip oleh Rumini, dkk. (1993) perilaku yang keliru atau tidak baik terjadi karena tidak adanya kesediaan seseorang melakukan apa yang seharusnya dilakukan sebagai akibat dari adanya sesuatu yang lain, yang lebih menarik atau memuaskan. Misalkan guru mengeluh murid-muridnya tidak berminat belajar, sebenarnya hal itu karena murid-murid itu tidak berminat melakukan apa yang dikehendaki oleh guru. Kalau saja guru tersebut lalu mengadakan aktivitas-aktivitas yang lain, barangkali murid-murid akan berubah sikap dan reaksinya.
Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan siswa. Guru harus memahami perilaku siswa dengan mencoba memahami dunia persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus berusaha merubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada.
Arthur Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Combs memberikan lukisan persepsi diri dan dunia seseorang seperti 2 lingkaran (besar dan kecil) yang bertitik pusat : 1. lingkaran kecil adalah gambaran dari persepsi diri dan lingkungan besar. 2. adalah persepsi dunia. Makin jauh peristiwa-peristiwa itu dari persepsi diri makin berkurang pengaruhnya terhadap perilakunya. Jadi, hal-hal yang mempunyai sedikit hubungan dengan diri, makin mudah hal itu terlupakan. (http://elearning-po.unp.ac.id). Jadi jelaslah mengapa banyak hal yang dipelajari oleh murid segera dilupakan, karena sedikit sekali kaitannya dengan dirinya.
Arthur W. Combs menjelaskan bagaimana persepsi ahli-ahli psikologi dalam memandang tingkah laku. Untuk mengerti tingkah laku manusia, yang penting adalah mengerti bagaimana dunia ini dilihat dari sudut pandangnya. Pernyataan ini adalah salah satu dari pandangan humanistik mengenai perasaan, persepsi, kepercayaan, dan tujuan tingkah laku inner (dari dalam) yang membuat orang berbeda dengan orang lain. Untuk mengerti orang lain, yang penting adalah melihat dunia sebagai yang dia lihat, dan untuk menentukan bagaimana orang berpikir, merasa tentang dia atau tentang dunianya. Combs menyatakan bahwa tingkah laku menyimpang adalah “akibat yang tidak ingin dilakukan, tetapi dia tahu bahwa dia harus melakukan”( Sri Esti Wuryani Djiwandono 2002, hlm. 182-183).
Arthur Combs, seorang humanis, berpendapat bahwa perilaku batiniah, seperti perasaan, persepsi, keyakinan, dan maksud, menyebabkan seseorang berbeda dengan orang lain. Untuk memahami orang lain, kita harus melihat dunia orang lain seperti ia merasa dan berpikir tentang dirinya. Seorang pendidik dapat memahami perilaku peserta didik jika ia mengetahui bagaimana peserta didik memersepsikan perbuatannya pada suatu situasi. Apa yang kelihatannya aneh bagi kita, mungkin saja tidak aneh bagi orang lain. Dalam proses pembelajaran, menurut para ahli psikologi humanistis, jika peserta didik memperoleh informasi baru, informasi itu dipersonalisasikan ke dalam dirinya. Sangatlah keliru jika pendidik beranggapan bahwa peserta didik akan mudah belajar kalau bahan ajar disusun rapi dan disampaikan dengan baik, karena peserta didik sendirilah yang menyerap dan mencerna pelajaran itu. Yang menjadi masalah dalam proses pembelajaran bukanlah bagaimana bahan ajar itu disampaikan, tetapi bagaimana membantu peserta didik memetik arti dan makna yang terkandung di dalam bahan ajar itu. Apabila peserta didik dapat mengaitkan bahan ajar dengan kehidupannya, pendidik boleh berbesar hati karena misinya telah berhasil (http://roebyarto.multiply.com/journal/item/105).
6. Peran Guru dalam Teori Arthur Combs
Combs memberi perhatian peran guru sebagai fasilitator yang berikut ini adalah berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas sifasilitator. Ini merupakan ikhtisar yang sangat singkat dari beberapa guidenes(petunjuk) sebagai berikut:
1) Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok, atau pengalaman kelas
2) Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
3) Dia mempercayai adanya keinginan dari masing-masing siswa untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyi di dalam belajar yang bermakna tadi.
4) Dia mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka.
5) Dia menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh kelompok.
6) Di dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima baik isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok
7) Bilamana cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-angsur dapat berperanan sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut menyatakan pendangannya sebagai seorang individu, seperti siswa yang lain.
8) Dia mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa.
9) Dia harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat selama belajar.
10) Di dalam berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk menganali dan menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri (http://smk3ae.wordpress.com/2009/03/29/teori-belajar-humanistik/).

7. Peran Siswa dalam Teori Arthur Combs
Dalam teori Combs peranan siswa lebih dominan, karena guru terfokus pada fasilitator yang coba memberikan arahan kepada siswa. Siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri, mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif.
Tujuan pembelajaran lebih kepada proses belajarnya daripada hasil belajar. Adapun proses yang umumnya dilalui adalah :
1. Merumuskan tujuan belajar yang jelas
2. Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat jelas, jujur dan positif.
3. Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif sendiri
4. Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri
5. Siswa di dorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukkan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dariperilaku yang ditunjukkan.
6. Guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran siswa, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong siswa untuk bertanggungjawab atas segala resiko perbuatan atau proses belajarnya.
7. Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya
8. Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi siswa
8. Implikasi Teori Belajar Humanistik
Psikologi humanistik memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator yang berikut ini adalah berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas si fasilitator. Ini merupakan ikhtisar yang sangat singkat dari beberapa guidenes (petunjuk) sebagaimana yang dijelaskan di bawah ini (http://vie218.blogspot.com) yaitu :
1). Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok, atau pengalaman kelas
2). Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
3). Dia mempercayai adanya keinginan dari masing-masing siswa untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyi di dalam belajar yang bermakna tadi.
4). Dia mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka.
5). Dia menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh kelompok.
6). Di dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima baik isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok
7). Bilamana cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-angsur dapat berperanan sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut menyatakan pendangannya sebagai seorang individu, seperti siswa yang lain.
8). Dia mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa
9). Dia harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat selama belajar
10). Di dalam berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk menganali dan menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri.

Pada hakikatnya seorang pendidik adalah seorang fasilitator. Fasilitator baik dalam aspek kognitif, afektif, psikomotorik. Seorang pendidik hendaknya mampu membangun suasana belajar yang kondusif untuk belajar mandiri. Ia juga hendaknya mampu menjadikan proses pembelajaran sebagai kegiatan eksplorasi diri.
7. Aplikasi Teori Belajar Humanistik dalam Kegiatan Pembelajaran
Teori humanistik sering dikritik karena sukar diterapkan dalam konteks yang lebih praktis. Teori ini dianggap lebih dekat dengan bidang filsafat, teori keperibadian dan psikoterapi dari pada bidang pendidikan, sehingga sukar menterjemahkannya ke dalam langka-langkah yang lebih konkret dan praktis. Namun karena sifatnya yang ideal, yaitu memanusiakan-manusi, maka teori humanistik mampu memberikan arah terhadap semua komponen pembelajaran untuk mendukung tercapainnya tujuan tersebut (C. Asri Budiningsih 2008, hlm. 76).
Lebih lanjut C. Asri Budiningsih (2008, hlm. 77), mengatakan bahwa teori humanistik akan sangat membantu para pendidik dalam memahami arah belajar pada dimensi yang lebih luas, sehingga upaya pembelajaran apapun dan pada konteks manapun akan selalu diarahkan dan dilakukan untuk mencapai tujuannya. Meskipun teori humanistik ini Masih sukar diterjemahkan ke dalam langkah-langkah pembelajaran yang praktis dan operasional, namun sumbangan teori ini amat besar. Ide-ide, konsep-konsep, teksonomi-teksonomi tujuan yang telah dirumuskannya dapat membantu para pendidik dan guru untuk memahami hakekat kejiwaan manusia. Hal ini akan dapat membantu mereka dalam menentukan komponen-komponen pembelajaran seperti perumusan tujuan, penentuan materi, pemilihan strategi pembelajaran, serta pengembangan alat evaluasi, ke arah pembentukan manusia yang dicita-citakan tersebut.
Dalam prakteknya teori humanistik ini cenderung mengarahkan siswa untuk berpikir induktif, mementingkan pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar. Oleh sebab itu, walaupun secara ekplisit belum ada pedoman baku tentang langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan humanistik, namun paling tidak langkah-langkah pembelajaran yang dikemukakan oleh Suciati dan Prasetya Irawan (2001) dapat digunakan sebagai acuan. Langkah-langkah yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran
2. Menentukan materi pelajaran
3. Mengedintifikasi kemampuan awal (entry behavior) siswa
4. Mengidentifikasi topik-topik pelajaran yang memungkinkan siswa secara aktif melibatkan diri atau mengalami dalam belajar
5. Merancang fasilitas belajar seperti lingkungan dan media pembelajaran
6. Membimbing siswa belajar secara aktif
7. Membimbing siswa untuk memahami hakikat makna dari pengalaman belajarnya
8. Membimbing siswa membuat konseptualisasi pengalaman belajarnya
9. Membimbing siswa dalam mengaplikasikan konsep-konsep baru ke situasi nyata
10. Mengevaluasi proses dan hasil belajar
Aplikasi teori belajar humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa, guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran. Siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri, mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif.
Pembelajaran berdasarkan teori humanistik ini cocok untuk diterapkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjaadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggungjawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan , norma, disiplin atau etika yang berlaku.

8. Kelebihan dan Kekurangan Teori Belajar Humanistik
Kelebihannya adalah
a) Teori ini cocok untuk diterapkan dalam materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial.
b) Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri.
c) Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin atau etika yang berlaku (http://www.perpustakaan-online.blogspot.com)

Kekurangannya adalah :
a). Siswa yang tidak mau memahami potensi dirinya akan ketinggalan dalam proses belajar (http://www.perpustakaan-online.blogspot.com).
b). Terlalu memberi kebebasan pada siswa (http://alkohol7.wordpress.com).

9. Pandangan Islam terhadap Teori Humanistik
Humanisme dalam Islam sebenarnya sudah terumuskan dalam konsep khalifatullah dalam Islam. Untuk mengerti konsep ini bisa dilacak pada sumber dasar Islam surat Al-Baqarah (2): 30- 32;
                     •                                   •    
Artinya : Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"
Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang Telah Engkau ajarkan kepada Kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana" (Depag RI 1989).

Adapun substansi ayat al-Qur’an di atas ada tiga hal secara jelas diterangkan, yaitu: (1) manusia adalah pilihan Tuhan; (2) keberadaan manusia dengan segala kelebihannya dimaksudkan sebagai wakil Tuhan di atas bumi dan (3) manusia adalah pribadi yang bebas yang menanggung segala risiko atas perbuatannya.

C. SIMPULAN
Menurut Teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri secara optimal.
Teori belajar Arthur W. Combs yang dikenal dengan Meaning (makna atau arti). Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu, guru tidak bisa mamaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan siswa. Anak tidak bisa matematika atau sejarah bukan karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa sebenarnya tidak ada alasan penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu sesungguhnya tak lain hanyalah dari ketidakmauan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya. Dalam prakteknya teori humanistik ini cenderung mengarahkan siswa untuk berpikir induktif, mementingkan pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar.
Pembelajaran berdasarkan teori humanistik ini cocok untuk diterapkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri.











REFERENSI

Alister E. Mcgrath, 2006, Sejarah Pemikiran Reformasi, diterjemahkan oleh Liem Sien Kie, Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Arthur W. Combs, 2006, Being and Becoming: A Field Approach to Psychology, New York: Springer Publishing Company.

C. Asri Budiningsih, 2008, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta.

Departemen Agama Republik Indonesia, 1989, Al- Qur’an dan Terjemahnya, Semarang, Toha Putra.

http://alkohol7.wordpress.com. 15 April 2010

http://amatamet.wordpress.com.humanisme. 15 April 2010

http://syarifulfahmi.blogspot.com.

http://vie218.blogspot.com

http://wawan-junaidi.blogspot.com

http://www.oac.cdlib.org/data/13030/1x/ft8r29p11x/files/ft8r29p11x.pdf 15 April 2010).

Nursalam dan Ferry Effendi, 2007, Pendidikan dalam Keperawatan, Jakarta: Penerbit Salemba.

Oemar Hamalik , 2010, Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara.

otomasi.unnes.ac.id

Rumini, S. dkk. 1993. Psikologi Pendidikan, Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta.

Sri Esti Wuryani Djiwandono, 2002, Psikologi Pendidikan, Jakarta: PT. Grasindo.

Suciati dan Prasetya Irawan, 2001, Teori Belajar dan Motivasi, Jakarta: PAU-PPAI Universitas Terbuka.

Thursan Hakim, 2007, Belajar secara Efektif, Solo: Niaga Swadaya.

2 komentar:

  1. bisa di translate sdkit. knapa campur2 bahasanya

    BalasHapus
  2. terimakasih atas bognya, sangat bermanfaat untuk saya

    http://blog.binadarma.ac.id/irman_effendy

    BalasHapus