Selasa, 26 Juli 2011

KRITERIA BERPIKIR ILMIAH

KRITERIA BERPIKIR ILMIAH
Oleh: Dadang, S. Ag, S. IPI, M. Pd.I


A. Pendahuluan
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang dilengkapi dengan akal pikiran. Tanpa memiliki akal derajad kemanusian akan tampak tidak sempurna sebagai khalifah fil ard. Akal digunakan manusia untuk berpikir, berpikir merupakan sebuah kegiatan mental yang menghasilkan pengetahuan( Jujun S. Suriasumantri 1996, hlm. 119). Jadi apabila manusia benar-benar memaksimalkan fungsi otaknya untuk berpikir dalam menemukan pengetahuan atau menghasilkan pengetahuan termasuk kategori berpikir ilmiah.
Pada hakekatnya, berpikir secara ilmiah merupakan gabungan antara penalaran secara deduktif dan induktif(M Jamiluddin Ritonga 2004, hlm.13). Masing-masing penalaran ini berkaitan erat dengan rasionalisme atau empirisme. Memang terdapat beberapa kelemahan berpikir secara rasionalisme dan empirisme, karena kebenaran dengan cara berpikir ini bersifat relatif atau tidak mutlak. Oleh karena itu, seorang sarjana atau ilmuwan haruslah bersifat rendah hati dan mengakui adanya kebenaran mutlak yang tidak bisa dijangkau oleh cara berpikir ilmiah. Induksi merupakan cara berpikir untuk menarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individual. Sementara deduksi merupakan cara berpikir yang berpangkal dari pernyataan umum, dan dari sini ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.
Berpikir ilmiah sebuah kegiatan yang seringkali dilakukan oleh para ilmuwan. Ilmuwan dalam mengkaji dan meneliti hubungan kausalitas (sebab akibat) antara berbagai macam peristiwa yang terjadi dalam kehidupan manusia di alam semesta ini menggunakan daya pikir yang logis analitis serta kritis.
Ilmu pengetahuan dikatakan ilmiah jika memiliki metode dan cara yang benar dan bisa dipertanggungjawabkan paling tidak ditunjang oleh tiga komponen utama : pertama adanya objek, kedua adanya metode yang digunakan dan ketiga adanya sistematika tertentu( Chalijah Hasan 1994, hlm. 12). Jadi berpikir ilmiah merupakan cara berpikir yang memiliki tata cara dan aturan main yang berlandaskan sistematika tertentu dan benar berdasarkan atas data empiris.
Untuk melakukan kegiatan ilmiah secara baik diperlukan kreteria berpikir. Menurut Nazir Umar, ada beberapa kreteria berpikir ilmiah yaitu : 1. Berdasarkan pada fakta, maksudnya berdasarkan fakta yang nyata, bukan kira-kira, lagenda-lagenda dan semacamnya. 2. Bebas dari prasangka, maksudnya bebas dari sudut pandang yang subyektif tetapi benar-benar bedasarkan alasan dan bukti yang lengkap dengan pembuktian yang objektif. 3. Menggunakan analisis, maksudnya permasalahan harus dicari sebab-sebabnya serta pemecahannya dengan menggunakan analisis yang logis (Husein Umar 2005, hlm. 60-61).


B. Pembahasan

1. Beberapa Pengertian

Sebelum kita lebih jauh membahas berbagai kriteria berpikir ilmiah, alangkah baiknya jika kita terlebih dahulu tahu tentang pengertian kriteria. Kriteria adalah suatu prinsip atau standar yang digunakan untuk menilai sesuatu. Oleh karena itu kriteria dapat dipandang sebagai prinsip ‘tingkat kedua’, yang menjelaskan lebih lanjut arti prinsip tersebut dan membuatnya lebih operasional tanpa harus membuat kriteria ini menjadi sesuatu yang secara langsung dapat digunakan untuk mengukur kinerja suatu kegiatan(Ani Kartikasari 1999, hlm. 5). Dapat dipahami bahwa kreteria adalah merupakan suatu cara atau langkah-langkah untuk menuju sesuatu.
Setelah kita mengetahui apa itu kriteria, sekarang tidak salah kalau kita tahu apa itu berpikir. Menurut John Chaffe, berpikir adalah sebagai sebuah proses aktif, teratur, dan penuh makna yang kita gunakan untuk memahami dunia( A. Chaedar Alwasilah 2008, hlm. 187) Dalam proses berpikir manusia dengan sendirinya memiliki keyakinan atas yang diketahuinya. Adanya keyakinan disebut aksioma berpikir, artinya suatu dasar yang diterima tanpa pembuktian sebagai pangkal susunan berpikir selanjutnya (Daldiyono Hardjodisastro 2006, hlm. 126). Memperhatikan pendapat di atas dapat penulis simpulkan bahwa berpikir adalah suatu proses pencarian jawaban, atau mencari suatu jalan keluar dari suatu persoalan pada akhirnya menemukan suatu makna.
Dalam buku Tasaurus Bahasa Indonesia Ilmiah adalah keilmuan, saintifik ; obyektif, rasional (Eko Endarmoko 2007, hlm. 245). Menurut Kees Bertens, (2007, hlm. 34), Ilmiah adalah suatu ilmu yang bersifat rasional dan teruji kebenarannya, sistematis dan objektif. Dapat di simpulkan bahwa ilmiah adalah merupakan suatu ilmu yang mengandung kebenaran yang bersifat objektif tanpa adanya manipulasi.


Setelah kita mengetahui pengertian kriteria berpikir ilmiah, kita lanjutkan pembahasan pada sub-tema yang telah penulis peroleh dari Dosen Pengampu sebagai rujukan, dengan harapan pembahasan tidak jauh keluar dari apa yang diharapkan. Ada tiga sub-tema dalam pembahasan kriteria berpikir ilmiah yaitu :

1) Objektivitas

Masalah objektivitas biasanya dibicarakan dengan mengabaikan kesadaran yang menyatakan objektivitas ini. Kita juga mudah mengesampingkan kenyataan bahwa setiap pernyataan mengenai objektivitas merupakan akibat dari desakan kesadaran yang menyatakannya. Akibatnya kita melalaikan ketidakpuasan mendalam yang dirasakan oleh bidang-bidang kesadaran tertentu terhadap pembuangan kualitas-kualitas sekunder sebagaimana dilakukan oleh Kant dan realitas virtual( P. Hardono Hadi 1994, hlm. 91).
Apa itu objek? Pertanyaan yang patut untuk dijawab. Ada pendapat bahwa objek dapat dilihat dalam arti luas dan dalam arti terbatas. Dalam arti lebih luas, objek adalah segala sesuatu yang menjadi sasaran pengarahan suatu tindakan sadar dari subjek. Dengan kata lain, objek adalah sesuatu yang menjadi sasaran intensionalitas kekuatan jiwa, kebiasaan atau bahkan ilmu tertentu. Objek adalah tujuan tindakan ( daya, kebiasaan, ilmu) sebagai tindakan. Dalam arti lebih terbatas, objek tidak berarti setiap atau semua yang diketahui atau yang dikehendaki, melainkan hanya berarti apa yang secara independent bertentangan dengan atau berhadapan dengan subjek sedemikian rupa, sehingga subjek itu harus memperhatikannya.( Lorens Bagus 2000, hlm. 731).
Filsafat skolastik membedakan objek material dari objek formal. Objek material adalah eksisten konkret seutuhnya yang merupakan sasaran intensionalitas subjek. Objek formal adalah ciri atau aspek khusus (bentuk) yang ditonjolkan untuk menyimak keutuhan itu ( Lorens Bagus 2000).
Membahas tentang berpikir ilmiah tidak dapat dilepaskan dari nilai objektivitas terhadap apa yang yang sedang dikaji. Karena nilai sebuah objektivitas adalah bagian dari rangkaian dalam suatu penilaian, apalagi dalam berpikir ilmiah. Berpikir ilmiah adalah suatu pola penyelesaian masalah secara rasional dan objektif, dengan kata lain menghilangkan unsur subjektifitas dan melihat perkara secara netral dengan mengandalkan pendapat-pendapat para pakar, yang dipercaya telah melakukan penelitian, analisis dan melewati beberapa tahap kritik sehingga kandungan kebenarannya telah diuji dan dipercaya (http: wordpress.com ). Analisis dan Argumentasi yang mentah, yang hanya sekedar bersifat abstraksi sepihak yang diutarakan secara subjektif justru menghilangkan ke-otentikan cara berpikir ilmiah tersebut.
Berpikir ilmiah memiliki macam kriteria diantaranya adalah objektivitas, generalisasi dan sistematisasi. Untuk lebih jelas alangkah baiknya kita pahami dulu apa itu objektivitas. Berbagai pendapat penulis ketengahkan dalam membahas objektivitas.
Objektivitas adalah keadaan jiwa yang memungkinkan seseorang untuk merasakan suatu realitas seperti apa adanya( Hiro Tugiman hlm. 34). Jamiluddin Ritonga (2004, hlm. 32) mendefinisikan Objektivitas adalah sebagai derajat, yaitu pengukuran yang dilakukan bebas dari pendapat dan penilaian subjektif, bebas dari bias, dan perasaan orang yang menggunakan tes. Lain lagi dengan Husein Umar (2004, hlm.77), menurutnya objektivitas adalah data yang diisikan pada kuesioner terbebas dari penilaian yang subjektif, seperti perasaan responden. Dari beberapa pendapat di atas penulis dapat simpulkan bahwa objektivtas adalah suatu sikap atau cara pandang yang konsisten dan jujur terhadap sesuatu.
Kematangan berpikir ilmiah sangat ditentukan oleh kematangan berpikir rasional dan berpikir empiris yang didasarkan pada fakta (objektif), karena kematangan itu mempunyai dampak pada kualitas ilmu pengetahuan. Sehingga jika berpikir ilmiah tidak dilandasi oleh rasionalisme, empirisme dan objektivitas maka berpikir itu tidak dapat dikatakan suatu proses berpikir ilmiah. Karena itu sesuatu yang memiliki citra rasional, empiris dan objektif dalam ilmu pengetahuan dipandang menjamin kebenarannya, dengan demikian rasionalisme, empirisme dan objektivitas merupakan dogma dalam ilmu pengetahuan ( Hidajat : 1984 ). Dapat penulis pahami bahwa nilai objektivitas dalam berpikir ilmiah adalah sesuatu yang penting dan merupakan suatu bentuk pengujian dari sebuah kebenaran yang ingin dicapai dalam proses berpikir ilmiah itu sendiri.

2) Generalisasi
Generalisasi adalah sebuah pernyataan yang berlaku untuk semua atau sebagian besar gejala yang diamati. Suatu generalisasi menyangkut cirri-ciri umum yang menonjol, bukan rincian(Widjono Hs 2007, hlm. 222). Generalisasi adalah penalaran dengan cara menarik kesimpulan berdasarkan dengan data yang sesuai dengan fakta. Data tersebut harus cukup untuk membuat kesimpulan secara umum( Ismail Kusmayadi 2006, hlm. 43).
Menurut Lorens Bagus (2000, hlm. 274) Generalisasi adalah suatu proses transisi logis dari hal partikular ke hal universal, dari pengetahuan yang kurang umum ke pengetahuan yang lebih umum. Misalnya transisi dari konsep “panas” ke konsep “energi” ; dari geometri Euklides ke geometri Labachevsky.
Generalisasi secara sederhana adalah menempatkan semua masalah setipe pada opini yang sama. Generalisasi merupakan pengungkapan opini terhadap masalah secara pragmatis, tidak mau menelaah bahwa setiap masalah belum tentu mempunyai kondisi sama alias mungkin berbeda( akses : http://3an.blogspot.com). Untuk sebuah opini pribadi, generalisasi sah-sah saja dan menjadi pandangan orang tersebut terhadap masalah. Namun untuk opini publik, atau opini pribadi yang dipaksakan ke publik, generalisasi menurut saya sangatlah tidak tepat.
Contoh yang sederhana dan simpel dan sedang marak-maraknya terjadi, mengeneralisasi bahwa selama pemerintahan Soeharto buruk. Atau malah sebaliknya semuanya baik sehingga tidak ada yang perlu diungkit-ungkit sisi buruknya lagi, apalagi Bapak tersebut sudah tiada. Opini yang semacam ini adalah generalisasi, dan ini menurut saya bahaya. Opini tersebut tidak jujur, dan justru menunjukan betapa tidak dewasanya penyuara opini tersebut.
Opini yang lebih fair dan mendewasakan bila melihat segalanya dari dua sisi, antara kebaikan dan keburukannya. Kita akui semua jasa-jasanya selama membangun Indonesia, dan mungkin bisa dianugerahkan pahlawan, dan di sisi yang lain memproses kasus-kasus yang melibatkannya dilanjutkan penyelidikan kepada pihak-pihak yang hidup ada saat ini.
Tampaknya bangsa ini sudah terlalu ingin menyederhanakan segalanya menjadi mudah, berpikir biner alias 1-0. Artinya kalau tidak 1, ya 0. Kalau tidak baik, ya buruk. Kalau tidak pahlawan, ya penjahat. Bukankah semua persoalan hidup ini tak bisa semata-mata dilihat dari sudut 1-0? Begitu pula dengan Soekarno, yang banyak dirindukan semangatnya untuk memajukan bangsa. Soekarno memang pemimpin luar biasa, sederhana dan visioner. Tapi jangan lupa, Soekarno pula yang mendefinisikan dirinya sebagai ‘aktor demokrasi terpimpin’.
Bagaimana bila itu berupa opini pribadi? Satu hal, itu sekali lagi sah-sah saja. Dan hanya akan menjadi penilaian lingkungan terhadap orang tersebut. Kembali masalah kedewasaan. Namun saat itu dipaksakan kepada orang lain, itulah yang menjadi kurang bijak. Misalnya seperti ini, seorang teman sangat tidak suka untuk menikah (atau ‘berhubungan’) dengan perempuan berjilbab. Alasanya, karena perempuan yang memakai jilbab belum tentu baik hatinya. Saya pun balik bertanya, apa semua orang yang tidak memaikai jilbab baik hatinya? Baik tidak baik memang tidak ditentukan oleh jilbab semata, namun jilbab bagi seorang muslimah (yang menyakininya dengan benar) merupakan bentuk pelaksanaan syariat agama.
Generalisasi yang tidak boleh dilakukan adalah yang menyangkut dengan kepercayaan (faith) dan hukum alam (law of nature). Bahwa Risalah Tuhan itu benar, tidak perlu dibantah. Bahwa air akan mendidih di suhu 100 derajat celcius, tidak perlu dicoba untuk disentuh.
Sedangkan yang berhubungan dengan interaksi antar manusia, semua generalisasi adalah salah. Bukankah demikian? Bila memperhatikan beberapa pendapat di atas mengenai generalisasi dapat disimpulkan, generalisasi adalah suatu proses penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomena khusus menuju kesimpulan umum yang mengikat seluruh fenomena sejenis dengan fenomena khusus yang diselidiki.

3) Sistematisasi
Dalam Tesaurus Bahasa Indonesia, sistematisasi adalah penataan, penertiban, pengaturan, pengorganisasian, penyisteman(Eko Endarmoko 2007, hlm. 606). Sebagai bagian dari kreteria berpikir ilmiah sistematis mesti dibutuhkan, karena tanpa adanya sifat sistematis cara berpikir ilmiah bisa diragukan.
Karena berpikir merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan”( S.Suriasumantri, 1997,). Oleh karena itu, proses berpikir untuk sampai pada suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan diperlukan sarana tertentu yang disebut dengan sarana berpikir ilmiah.
Sarana berpikir ilmiah merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Pada langkah tertentu biasanya juga diperlukan sarana tertentu pula. Tanpa penguasaan sarana berpikir ilmiah kita tidak akan dapat melaksanakan kegiatan berpikir ilmiah yang baik. Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik diperlukan sarana berpikir ilmiah berupa: “[1] Bahasa Ilmiah, [2] Logika dan metematika, [3] Logika dan statistika(Tim Dosen Filsafat Ilmu 1992, hlm. 68). Bahasa ilmiah merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah. Bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran seluruh proses berpikir ilmiah kepada orang lain. Logika dan matematika mempunyai peran penting dalam berpikir deduktif sehingga mudah diikuti dan dilacak kembali kebenarannya. Sedangkan logika dan statistika mempunyai peran penting dalam berpikir induktif untuk mencari konsep-konsep yang berlaku umum”.







Berdasarkan
Metode-metode
Ilmiah

Sarana berpikir ilmiah digunakan sebagai alat bagi cabang-cabang pengetahuan untuk mengembangkan materi pengetahuannya berdasarkan metode-metode ilmiah. “Sarana berpikir ilmiah mempunyai metode tersendiri yang berbeda dengan metode ilmiah dalam mendapatkan pengetahuan. Dalam mendapatkan pengetahuan ilmiah pada dasarnya ilmu menggunakan penalaran induktif dan deduktif, dan sarana berpikir ilmiah tidak menggunakan cara tersebut. Berdasarkan cara mendapatkan pengetahuan tersebut jelaslah bahwa sarana berpikir ilmiah bukanlah ilmu, melainkan sarana ilmu yang berupa : bahasa, logika, matematika, dan statestika”. Sedangkan “fungsi sarana berfikir ilmiah adalah untuk membantu proses metode ilmiah, baik secara deduktif maupun secara induktif( Tim Dosen Filsafat Ilmu 1996, hlm. 100)
Kemampuan berpikir ilmiah yang baik sangat didukung oleh penguasaan sarana berpikir dengan baik pula. Maka dalam proses berpikir ilmiah diharuskan untuk mengetahui dengan benar peranan masing-masing sarana berpikir tersebut dalam keseluruhan proses berpikir ilmiah. Berpikir ilmiah menyadarkan diri kepada proses metode ilmiah baik logika deduktif maupun logika induktif. Ilmu dilihat dari segi pola pikirnya merupakan gabungan antara berpikir deduktif dan induktif.
Agar pengetahuan yang dihasilkan dari proses berpikir mempunyai dasar kebenaran, maka proses berpikir dilakukan dengan cara tertentu. Cara berpikir logis dibagi menjadi dua bagian, yaitu : “[a] Logika Induktif - cara berpikir di mana ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. Untuk itu, penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang yang khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum. [b] Logika Deduktif – cara berpikir di mana pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola berpikir silogismus. Silogismus. Disusun dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. Pernyataan yang mendukung silogismus disebut premis yang kemudian dapat dibedakan sebagai premis mayor dan premis minor. Kesimpulan merupakan pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif berdasarkan kedua premis tersebut(17Jujun S. Suriasumantri 1988, hlm. 48-49) . Contoh – karakteristik berpikir silogismus : [a] Semua makhluk hidup mesti akan mati [premis mayor], [b] Si Pulan adalah makhluk hidup [premis minor], [c] Jadi si Pulan mesti mati [kesimpulan – konklusi].
Kesimpulan bahwa si Pulan mesti mati, menurut Jujun S. Suriasumantri, kesimpulan tersebut adalah sah menurut penalaran deduktif, sebab kesimpulan ini ditarik secara logis dari dua premis yang mendukungnya. Sedangkan pertanyaan apakah kesimpulan ini benar, maka hal ini harus dikembalikan kebenarannya pada premis yang mendahuluinya. Apabila kedua premis yang mendukungnya benar, maka dapat dipastikan bahwa kesimpulan tersebut benar. Tetapi dapat saja kesimpulan tersebut salah, walaupun kedua premisnya benar, sebab cara penarikan kesimpulannya salah. Selanjutnya Jujun S. Suriasumantri, mengatakan ketepatan penarikan kesimpulan tersebut tergantung pada tiga hal yaitu : [1] kebenaran premis mayor, [2] kebenaran premis minor, dan [3] keabsahan pengambilan keputusan. Oleh karena itu, apabila salah satu dari ketiga unsur tersebut tidak memenuhi persaratan, maka kesimpulan yang diambil atau diputuskan akan salah.
Contoh berpikir induktif, simpulan yang diharapkan berlaku umum untuk suatu kasus, jenis, dan peristiwa, atau yang diharapkan adalah agar kasus-kasus yang bersifat khusus dapat dimasukkan ke dalam wilayah umum, yang menjadi simpulan. Misalnya : [1] P – penduduk desa A = adalah pegawai, [2] Q – penduduk desa A = adalah pegawai, [3] R – penduduk desa A = adalah pegawai, [4] S – penduduk desa A = adalah pegawai, [5] Y – penduduk desa A = adalah pegawai, [6] Z – penduduk desa A = adalah pegawai. Kesimpulan – jadi semua penduduk [ P sampai Z ] yang mendiami desa A adalah pegawai. Menurut Kasmadi, dkk., pola berpikir ini adalah berpikir induksi komplet.






C. Simpulan
Berpikir merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan. Untuk menemukan hasil dari berpikir ilmiah diperlukan berbagai kriterianya. Sebagaimana diketahui kriteria berpikir ilmiah adalah Objektivitas, Generalisasi dan Sistematisasi.
Kemudian kematangan berpikir ilmiah sangat ditentukan oleh kematangan berpikir rasional dan berpikir empiris yang didasarkan pada fakta (objektif), karena kematangan itu mempunyai dampak pada kualitas ilmu pengetahuan. Sehingga jika berpikir ilmiah tidak dilandasi oleh rasionalisme, empirisme dan objektivitas maka berpikir itu tidak dapat dikatakan suatu proses berpikir ilmiah. Karena itu sesuatu yang memiliki citra rasional, empiris dan objektif dalam ilmu pengetahuan dipandang menjamin kebenarannya, dengan demikian rasionalisme, empirisme dan objektivitas merupakan dogma dalam ilmu pengetahuan. Jadi untuk menghasilkan buah dari berpikir ilmiah dharus melalui beberapa tahapan. Yang pertama, objektivitas ; adalah sesuatu yang penting dan merupakan suatu bentuk pengujian dari sebuah kebenaran yang ingin dicapai dalam proses berpikir ilmiah itu sendiri. Kedua, generalisasi ; adalah suatu proses penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomena khusus menuju kesimpulan umum yang mengikat seluruh fenomena sejenis dengan fenomena khusus yang diselidiki. Ketiga, sistematisasi ; untuk menghasilkan sebuah pemikiran yang baik dari berpikir ilmiah harus melalui cara yang teratur dan tepat, karena tanpa ketidakteraturan berpikir ilmiah akan menghasilkan sesuatu yang meragukan.






DAFTAR PUSTAKA

A. Chaedar Alwasilah, 2008, Contextual Teaching dan Learning : Menjadikan Kegiatan Belajar Mengajarkan Mengasyikkan dan Bermakna, Bandung, Mizan Learning Center
Ani Kartikasari, 1999, CIFOR.Acuan generik kriteria dan indikator CIFOR, Tim Kriteria dan Indikator, Bogor, CIFOR, Grafika Mardi Yuana.
Chalijah Hasan, 1994, Dimensi-dimensi Psikologi Pendidikan, Jakarta, Al Ikhlas.
Cholid Narbuko, 1997, Metode Penelitian, Jakarta, Bumi Aksara.
Daldiyono Hardjodisastro, 2006, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
Eko Endarmoko,2007, Tesaurus bahasa Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
Hartono Kasmadi, dkk.,1990, Filsafat Ilmu, IKIP Semarang Press.
Hidajat Nataatmadja. 1984b. Pemikiran ke Arah Ekonomi Humanistik: Suatu Pengantar Menuju Citra Ekonomi Agamawi. Yogyakarta, Penerbit PLP2M.
Hiro Tugiman, Pandangan Baru Internal Auditing, The New Internal Auditing, Yogjakarta,Kanisius.
Husein Umar, 2004, Metode Riset Ilmu Administrasi, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama
Husein Umar,2005, Riset Sumber Daya Manusia Dalam Organisasi, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
Husen Umar, Metode Riset Ilmu Administrasi, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
Ismail Kusmayadi , 2006, Think Smart Bahasa Indonesia, Jakarta, PT Grafindo Media Pratama
Jujun S. Suriasumantri, 1988, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan.
Jujun S. Suriasumantri, 1996, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan.
Kees Bertens, MSC. Pengantar Etika Bisnis, Yogyakarta, Kanisius
Lorens Bagus, 2000, Kamus Filsafat, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
Lorens Bagus, 2000, Kamus Filsafat, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2000
M Jamiluddin Ritonga, 2004, Riset Kehumasan, Jakarta, Grasindo.
Newton, Roger G, 1997: The Truth of Science: Physical Theories and Reality,London, Harvard University Press.
P. Hardono Hadi,1994, Epistemologi : Filsafat Pengetahuan,Yogyakarta, Kanisius.
S.Suriasumantri, 1997, Ilmu dalam Perspektif, Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, Yayasan Obor Indonesia.
S.Wojowasito – W.J.S. Poerwadarminto, 1980, Kamus Lengkap Inggris Indonesia – Indonesia Inggris, Hasta, Bandung.
Simon Petrus L. Tjahjadi, 2004, Petualangan Intelektual, Konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani hingga Zaman Modern, Yogyakarta, Kanisius.
Slameto Suseno, 1986, Teknik Penulisan Ilmiah Populer, Jakarta, Gramedia.
Taryadi, Alfons, 1989, Epistemologi Pemecahan Masalah, menurut Karl R.Popper, Yogyakarta, Kanisius.
Tim Dosen Filsafat Ilmu, 1992, Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, Yogyakarta, Liberti.
Tim Dosen Filsafat Ilmu, 1996, Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, Yogyakarta, Liberty.
Widjono Hs, 2007, Bahasa Indonesia Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi : Mata kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi, Jakarta, Grasindo.

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM AL-QUR’AN

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM AL-QUR’AN
Oleh: Dadang, S.Ag, S.IPI, M. Pd.I


A. Pendahuluan
Manusia adalah makhluk yang dikaruniai keutamaan oleh Allah swt dibandingkan makhluk ciptaannya yang lain. Keutamaan manusia terletak pada kemampuan akal pikirannya/kecerdasannya. Dengan kemampuannya ini manusia mampu mengembangkan diri dalam kehidupan yang semakin berkembang. Pengembangan diri untuk mencapai kemajuan dalam kehidupan memerlukan apa yang kita sebut dengan pendidikan. Pendidikan sudah ada sejak adanya peradaban yang diawali dengan proses kependidikan dalam lingkup yang masih terbatas.
Sejalan dengan perkembangan dan tuntutan zaman maka diperlukan satu pendidikan yang dapat mengembangkan kehidupan manusia dalam dimensi daya cipta, rasa dan karsa. Dimana ketiga hal tersebut di atas akan menjadi motivasi bagi manusia untuk saling berlomba dalam mencapai kemajuan sehingga keberadaan pendidikan menjadi semakin urgen. Yang pada akhirnya menjadikan pendidikan sebagai kunci utama kemajuan hidup manusia dalam segala aspek kehidupan.
Dunia pendidikan Islam secara historis dimulai pada 8-12 M merupakan puncak keemasan pendidikan Islam yang banyak melahirkan pemikir-pemikir pendidikan (Jusuf A. Feisal,1995, hlm. 198). Salah satu rahasia kesuksesan puncak keemasan pendidikan Islam pada saat itu terletak kepada kebebasan mimbar akademik, demokratisasi serta berpengang teguh pada etika akademik atau akhlak sangat dijujung tinggi, dengan menjadikan Al-qur’an dan Hadis sebagai motivator pengembangan ilmu, akan tetapi pasca abad ke-12 dunia pendidikan Islam mengalami kemunduran yang nyaris memasuki periode kejumudan dimana ijtihad telah tertutup, atau menurut istilah Harun Nasution, bukan ijithad telah tertutup, tetapi karena tidak ada yang berani berijtihad. Sehingga kemuduran terjadi dalam berbagai bidang termasuk bidang pendidikan (http://www.fai.umj.ac.id).
Usaha-usaha para pemikir untuk membenahi atau mengadakan pembaharuan system pendidikan Islam terus dilakukan, karena salah satu esensi dari pembaharuan adalah upaya terus menerus menganalisis keadaan dan mencermati peluang-peluang perbaikan yang mesti dilakukan. Hal ini diakui Fazlur Rahman bahwa usaha pembaharuan pendidikan adalah mesin rekayasa peradaban dan budaya yang akan menjamin kesiapan masyarakat tertentu menghadapi masa depannya. Oleh karena itu, kehadiran mata kuliah pemikiran pendidikan dalam Islam harus dilihat sebagai upaya pembaharuan pendidikan.

a) Pembahasan
1. Istilah-istilah pendidikan dalam Al-Qur’an
Hasan Langgulung, seperti yang dikutip oleh Moh. Said (2005, hlm.43) mengartikan pendidikan itu dengan menggunakan tiga istilah yaitu “ta’lim”, “tarbiyah” dan “ta’dib”.
a) Pendidikan dalam pengertian “ta’lim” ,sesuai dengan firman-Nya :

               

“Dan Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya. Kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat, lalu berfirman : sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar” (Q.S. Al-Baqarah : 31)

b) Pendidikan dalam pengertian “tarbiyah”, berdasarkan firman Allah SWT :
     
“…Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil” (Q.S.Al-Isra’ : 24)
c) Istilah pendidikan dalam Islam juga disebut dengan kata “ta’dib” sebagaimana yang dimaksud dengan Sabda Rasulullah SAW yang artinya :

“Allah mendidikku, maka Ia memberikan kepadaku sebaik-baik pendidikan” (H.R : Al-Sam’ani)

Dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah pengaruh, bantuan atau tuntunan dan tuntutan yang diberikan oleh orang yang bertanggung jawab kepada anak yang memiliki sasaran, proses, target dan tujuan tertentu.

2. Tujuan pendidikan dalam Al-Qur’an
Adapun tujuan pendidikan dalam Islam adalah terbentuknya anak didik menjadi hamba Allah yang berkepribadian muttaqin, bertanggung jawab dan mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (Ahmadi 2001, hlm.115).
Al-Syaibani, mengemukakan bahwa tujuan tertinggi pendidikan Islam adalah mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat. Semetara tujuan akhir yang akan dicapai adalah mengembangkan fitrah peserta didik, baik ruh, pisik, kemauan, dan akalnya secara dinamis, sehingga akan terbentuk pribadi yang utuh dan mendukung bagi pelaksanaan fungsinya sebagai khalifah fil ardh.
Pendekatan tujuan ini memiliki makna, bahwa upaya pendidikan Islam adalah pembinaan pribadi muslim sejati yang mengabdi dan merealisasikan “kehendak” Tuhan sesuai dengan syariat Islam, serta mengisi tugas kehidupannya didunia dan menjadikan kehidupan akhirat sebagai tujuan utama pendidikannya.
Sedangkan menurut Muhammad Fadhil al-Jamaly dalam Samsul Nizar ( 2002, hlm. 36-37) tujuan pendidikan Islam menurut al-Qur’an meliputi : 1). Menjelaskan posisi peserta didik sebagai manusia diantara makhluk Allah lainnya dan tanggung jawabnya dalam kehidupan ini. 2). Menjelaskan hubungannya sebagai makhluk sosial dan tanggung jawabnya dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. 3). Menjelaskan hubungan manusia dengan alam dan tugasnya untuk mengetahui hikmah penciptaan dengan cara memakmurkan alam semesta. 4) menjelaskan hubungannya dengan Khaliq sebagai pencipta alam semesta.
Berbeda dengan Muhammad Athiyah al-Abrasyi (1984, hlm. 1-4), bahwa tujuan pendidikan Islam terdiri dari atas 5 sasaran, yaitu :
1) Membentuk akhlak mulia
2) Mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat
3) Persiapan untuk mencari rizki dan memelihara segi kemanfaatannya
4) Menumbuhkan semangat ilmiah di kalangan peserta didik
5) Mempersiapkan tenaga profesional yang terampil.
Dari beberapa pendapat di atas dapat dipahami, bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan kepribadian peserta didik menuju akhlak mulia.

3. Prinsip-prinsip pendidikan Islam dalam Al-Qur’an
Kata ‘prinsip’ adalah akar kata dari principta yang diartikan sebagai permualaan, yang dengan suatu cara tertentu melahirkan hal-hal lain, yang keberadaannya tergantung dari pemula itu’ . jadi kalau berbicara mengenai prinsip pendidikan Islam, maka pelaksanaan pendidikan ini telah digariskan oleh prinsip atau konsep dalam ajaran Islam. Prinsip-prinsip tersebut adalah;
Pendidikan Islam sebagai suatu proses pengembangan diri ; Manusia adalah makhluk paedagogik, yaitu makhluk Allah yang dapat dididik dan dapat mendidik. Potensi itu ada dengan adanya pemberian Allah berupa akal-pikiran, perasaan, nurani, yang akan dijalani manusia baik sebgai makhluk individu maupun sebagai makhluk yang bermasarakat. Potensi yang besar tidak akan bisa kita manfaatkan jika kita tidak berusaha untuk mengaktifkan, mengembangkan dan melatihnya. Hal itu membutuhkan sebuah proses yang akan memakan waktu, tenaga bahkan biaya, tetapi mengingat potensi yang luar biasa yang kita akan raih hal itu tidak ada artinya apa-apa. Jadi pendidikan adalah proses untuk mengembangakan potensi diri.
Pendidikan Islam penuh dengan nilai insaniah dan ilahiyah; Agama Islam adalah sumber akhlak, kedudukan akhlak sangatlah penting sebagai pelengkap dalam menjalankan fungsi kemanusiaan di bumi. Pendidikan merupakan proses pembinaan akhlak pada jiwa. Meletakkan nilai-nilai moral pada anak didik harus diutamakan. Nilai-nilai ketuhanan harus dikedepankan, pendidikan Islam haruslah memperhatikan pendidikan akhlak atau nilai dalam setiap pelajaran dari tingkat dasar sampai tingkat tertinggi dan mengutamakan fadhilah dan sendi moral yang sempurna.
Prinsip Keseimbangan hidup; Dalam pendidikan Islam prinsip keseimbangan meliputi; Keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat Keseimbangan antara kebutuhan jasmanai dan rohani Keseimbangan antara kepentingan individu dan sosial Keseimbangan antara ilmu pengetahuan dan amal.
Prinsip ini telah ditegaskan dalam al-Qur'an (Al-Qashas;77);
                  

Artinya : Dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan kepadamau (kebahagiaan) negeri akhirat, dan jaganlah kamu melupakan kebahagiaan dari kenikmatan duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu…’

Prinsip persamaan; Kesempatan belajar dalam Islam sama antara laki-laki dan perempuan, oleh karena itu kewajiban untuk menuntut ilmu juga sama. Sistem pendidikan tidak mengenal perbedaan dan tidak membeda-bedakan latar belakang orang itu jika dia mau menuntut ilmu. Semua punya potensi yang sama untuk di didik dan punya kesempatan yang sama untuk memproses diri dalam pendidikan.
Prinsip seumur hidup, sepanjang masa; Pendidikan yang dianjurkan tidak mengenal batas waktu, tidak mengenal umur. Seumur hidup manusia harunya terdidik, mulai dari lahir sampai ke liang lahat. Seluruh kehidupan kita digunakan sebagai proses pendidikan, sebagai proses untuk menjadi hamba yang baik, menjadi insan kamil.
Prinsip diri; Orang telah kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri. Sebenarnya sudah mati sebeluhm mereka hidup, sebab tidak bisa melihat dunia dengan potensi panca indranya sendiri. Manusia adalah makhluk yang sempurna dengan berbekal akal, perasaan yang bisa dikembangkan. dengan inilah harkat manusia lebih tinggi di banding makhluk lainya. Atau bahkan karena akalnyapun manusia bisa unggul dari manusia satu dengan manusia lainya.

4. Metode pendidikan Islam dalam al-Qur’an
Pendidikan Islam dalam pelaksanaannya membutuhkan metode yang tepat untuk menghantarkan kegiatan pendidikannya ke arah tujuan yang dicita-citakan. Perlu difahami bahwa penggunaan metode dalam pendidikan Islam pada prinsipnya adalah pelaksanaan sikap hati-hati dalam pekerjaan mendidik dan mengajar.
Dalam konteks pengembangan metode pendidikn Islam dalam al-Qur’an, menurut Abdul Munir Mulkhan (1993, hlm. 249-250) antara lain :
a. Allah menyuruh hamba-Nya untuk mencontoh Rasulullah, sebab sesungguhnya pada diri Rasulullah ini terdapat teladan yang baik( Q.S. Al-Ahzab/33: 21)
       

b. Allah memerintahkan hamba-Nya untuk menyeru manusia ke jalan Tuhan dengan hikmah, pengajaran yang baik dan argumentasi yang dapat dipertanggung jawabkan ( Q.S. An Nahl/ 16 : 125).
            
c. Allah mmerintahkan umat Islam untuk mengembangkan sikap arif dan bijaksana dalam melakukan dan menyelesaikan suatu aktivitas (berdiskusi dan bermusyawarah) serta bertawakal kepada kepada-Nya. (Q.S. Ali Imran/ 3: 159 dan Asy Syuura/42: 38).
                              •    

Artinya : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.


           

Artinya : Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.

Sedangkan menurut Muhammad Quthb dan Abdullah Ulwan dalam Hery Noer Aly, bahwa metode pendidikan Islam yang terpenting sebagai berikut :

1. Keteladanan
Pendidikan dengan teladan berarti pendidikan dengan memberi contoh, baik berupa tingkah langkuh, sifat, cara berpikir, dan sebagainya. Di dalam al-Qur’an terdapat ayat yang menunjukkan kepentingan penggunaan teladan dalam pendidikan. Antara lain terlihat pada ayat-ayat yang mengemukakan pribadi-pribadi yang teladan seperti di bawah ini :

       
Sesungguhnya Telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim

2. Pembiasaan
Pembiasaan merupakan proses penanaman kebiasaan. Yang dimaksud dengan kebiasaan (habit) ialah cara-cara bertindak yang persistent, uniform, dan hampir-hampir otomatis (hampir-hampir tidak disadari oleh pelakunya) (M.D. Dahlan 1979, 7). Pembiasaan merupakan salah satu metode pendidikan yang sangat penting, terutama bagi anak-anak.

3. Memberi Nasihat
Yang dimaksud dengan nasihat ialah penjelasan tentang kebenaran dan kemaslahatan dengan tujuan menghindarkan orang yang dinasihati dari bahaya serta menunjukkannya ke jalan yang mendatangkan kebahagiaan dan manfaat. Memberi nasihat merupakan salah satu metode penting dalam pendidikan Islam. Dengan metode ini pendidik dapat menanamkan pengaruh yang baik ke dalam jiwa apabila digunakan dengan cara yang dapat mengetuk relung jiwa melalui pintunya yang tepat.

5. Kurikulum Pendidikan Islam dalam Al-Quran
Kurikulum pendidikan Islam adalah bahan-bahan pendidikan Islam berupa kegiatan, pengetahuan dan pengalaman yang dengan sengaja dan sistematis diberikan kepada anak didik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan Islam. Atau dengan kata lain kurikulum pendidikan Islam adalah semua aktiviti, pengetahuan dan pengalaman yang dengan sengaja dan secara sistematis diberikan oleh pendidik kepada anak didik dalam rangka tujuan pendidikan Islam (H.syamsul Bahri Tanrere, 1993).
Kurikulum salah satu komponen yang sangat menentukan sistem pendidikan, karena itu kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan dan sekaligus pedoman dalam pelaksaan pengajaran pada semua jenis dan tingkat pendidikan.
Perlu ditegaskan terlebih dahulu dalam kurikulum pendidikan Islam ada dua kurikulum inti sebagai kerangka dasar operasional pengembangan kurikulum. Pertama, tauhid sebagai unsur pokok yang tidak dapat dirubah. Kedua, perintah membaca ayat-ayat Allah yang meliputi tiga macam ayat, yaitu: 1) ayat Allah yang berdasarkan wahyu, 2) ayat Allah yang ada pada diri manusia, 3) ayat Allah yang terdapat di alam semesta atau di luar manusia.
Adapun prinsip umum yang menjadi dasar kurikulum pendidikan Islam adalah:
1. Adanya pertautan yang sempurna dengan agama, termasuk ajaran-ajaran dan nilai-nilainya.
2. Prinsip menyeluruh (universal) pada tujuan-tujuan dan kandungan-kandungan kurikulum.
3. Keseimbangan yang relatif antara tujuan dan kandungan-kandungan kurikulum.
4. Perkaitan dengan bakat, minat, kemampuan-kemampuan, dan kebutuhan, dan juga dengan alam sekitar, fisik, dan sosial tempat berinteraksi.
5. Pemeliharaan atas perbedaaan-perbedaan individu dilingkungan masyarakat.
6. Penyesuaian dengan perkembangan dan perubahan yang berlaku dalam kehidupan.
7. Pertautan antara mata pelajaran, pengalaman, dan aktivitas yang terkandung dalam kurikulum dengan kebutuhan murid dan kebutuhan masyarakat tempat murid itu tinggal. (Widodo, 2008:193-194)



6. Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam dalam Al-Qur’an
Hakekat dari pendidikan adalah memerangi kebodohan, karena itu sabda Rasulullah s.a.w " Mencari ilmu itu hukumnya wajib bagi setiap muslim". Hadits ini menisbatkan siapa yang dirinya Islam, maka wajib atasnya mencari ilmu pengetahuan (belajar) agar menjadi orang yang pandai (Qs:96:1-6).

                          •   

Artinya : Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas (Q.S. Al- Alaq, 1-6).

Pada sisi lain, tanggung jawab lembaga pendidikan (Universitas, Institut, Sekolah Tinggi, yang berlabel Islam) akan dipertanyakan konsekuensi logisnya, dalam arti sejauh mana urgensi, kiprah dan tanggung jawabnya dalam turut menjawab persoalan umat. Realisasi dari peran Perguruan Tinggi/Lembaga Pendidikan Islam dalam mempersiapkan generasi penerus yang pandai, cerdas, beriman, dan berakhlaq mulia yang dibahasakan dalam Al-Qur"an (Q.S: Ali Imran Ayat 110) harus terus diupayakan secara berkesinambungan diantaranya : Pertama, lembaga pendidikan Islam harus mampu menjadi "agent of change" mampu mencerahkan kehidupan umat dari msyarakat umum menuju sebuah kondisi yang lebih baik. Kedua, label Islam pada nama lembaga pendidikan Islam, hendaknya mampu menjadi napas kegiatan akademik menuju tumbuhnya iklim akademik yang islami yang ditandai dengan lahirnya individu yang menguasai ilmu pengetahuan, ketrampilan dan memahami nilai-nilai moral Islam yang berlaku dalam masyarakat. Ketiga, out put proses pendidikan melahirkan kader-kader yang profesional, menguasai Iptek, dan mengamalkan Imtaq serta pejuang-pejuang Islam yang tangguh. Keempat Lembaga Pendidikan Islam hendaknya menitikberatkan kurikulum pendidikannya pada corak agama dan akhlak disamping pengembangan science dan teknologi tidak kering dari norma / nilai - nilai Islam. Kelima, Lembaga Pendidikan Islam mampu menjadi pelopor pembaharuan utamanya dalam mencari jalan keluar dari problem umat kecil "miskin" terbelakang dan bodoh, menjadi muslim yang berkualitas dalam segala hal.
Berangkat dari peran Lembaga Pendidikan Islam sebagaimana yang diharapkan di atas, tidak akan mungkin terlaksana tanpa dukungan dari semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan suatu lembaga pendidikan (pimpinan, dosen, karyawan, dan mahasiswa) melalui pengembangan keunggulan akademik.
Dengan demikian pendidikan Islam tidak hanya akan membicarakan bagaimana keunggulan akademik dapat tercapai juga sejauh mana fungsi pencerahan institusi maupun sumber daya manusia baik sebagai pelaku pendidikan maupun sebagai outcome dari Lembaga Pendidikan itu sendiri, sebagai wujud tanggung jawabnya kepada Allah SWT, masyarakat, bangsa, dan negara.

d) Penutup
Ada beberapa istilah pendidikan yaitu “ta’lim”, “tarbiyah” dan “ta’dib”. Namun dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah pengaruh, bantuan atau tuntunan dan tuntutan yang diberikan oleh orang yang bertanggung jawab kepada anak yang memiliki sasaran, proses, target dan tujuan tertentu. Tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan kepribadian peserta didik menuju akhlak mulia.
Beberapa prinsip pendidikan dalam Islam adalah : Prinsip Keseimbangan hidup, prinsip persamaan, prinsip seumur hidup, sepanjang masa, dan prinsip diri. Metode pendidikan Islam meliputi, keteladanan, pembiasaan, memberi Nasihat.



















REFERENSI

Abdul Munir Mulkhan, 1993, Paradigma Intelektual Muslim, Yogyakarta, SI Press.

Ahmad D. Marimba, 1989, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, al-Ma-arif, Bandung.

Anton M. Moeliono, et, al 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

H. Syamsul Bahri Tanrere, 1993, Kaedah Pengajaran Pendidikan Agama, Universiti Brunei Darussalam, Bandar Seri Begawan.

Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan : Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, Jakarta, Pustaka Al-Husna.

Jusuf A. Feisal,1995, Reorientasi Pendidikan Islam, Gema Insani, Jakarta.

M.D. Dahlan, 1979, Prinsip-Prinsip dan Teknik Belajar: Analisa Terbentuknya Tingkah Laku, Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan FIP IKIP, Bandung.

Mohammad Athiyah al-Abrasyi, 1984, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. Bustami A. Gani dan Djohar Bahry, Jakarta, Bulan Bintang.

Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar,Yogyakarta.

Mujami Qomar, 2005, Epistimologi Pendidikan Islam; dari Metode Rasional hingga Metode Kritis, Erlangga, Jakarta.

Omar Mohammad Al-Toumy al-Syabany, 1979, Falsafat Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jakarta.

Samsul Nizar, 2001, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta.

Samsul Nizar, 2002, Filsafat Pendidikan Islam : Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta, Ciputat Pers.

PENDIDIKAN DAN TRADISI KEAGAMAAN

PENDIDIKAN DAN TRADISI KEAGAMAAN
Oleh: Dadang, S. Ag, S. IPI, M. Pd. I


A. Pendahuluan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Dari definisi tersebut tergambar adanya proses pembelajaran terhadap peserta didik agar mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan. Hal ini mengindikasikan betapa pentingnya pendidikan agama untuk mendukung siswa memiliki kekuatan spiritual tersebut. Pendidikan sangat dekat dengan tardisi keagamaan yang ada disekelilimgnya. Karena antara pendidikan dan tradisi keagamaan menyatu dalam lingkungan secara kebersamaan, contohnya dalam nuansah pesantren, yang serat dengan tradisi keagamaan.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan agama, secara nyata telah memberikan kontribusi yang amat besar dalam pelayanan pendidikan bagi masyarakat. Pesantren telah membuka akses pendidikan bagi masyarakat miskin di pedesaan. Selain memberikan pendidikan agama, pesantren juga memberikan bekal keterampilan praktis kepada para santri/siswa seperti pertanian, peternakan, perbengkelan, jahit-menjahit, bahkan operator komputer. Pesantren sebagai lembaga pendidikan memiliki riwayat sejarah yang sangat panjang dan menjadi salah satu varian dalam keanekaragaman jenis pendidikan yang ada, tetapi belum sepenuhnya menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional.
Program pembinaan lembaga sosial keagamaan dan lembaga pendidikan tradisional keagamaan bertujuan untuk: (1) memberdayakan dan meningkatkan kapasitas serta kualitas lembaga sosial keagamaan, dan (2) memberikan pelayanan pendidikan bagi masyarakat khususnya di perdesaan yang berlatar sosial ekonomi lemah . Sasaran yang ingin dicapai adalah meningkatnya peranan lembaga sosial keagamaan dan lembaga pendidikan tradisional keagamaan dalam pembangunan nasional dan memperkuat nilai-nilai keagamaan dalam perubahan sosial.

B. Pembahasan
1. Pengertian Pendidikan
Pendidikan berasal dari kata didik, lalu kata ini mendapat awalan pe dan akhiran an sehingga menjadi .pendidikan., yang artinya .Proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia, melalui upaya pengajaran dan pelatihan ; atau proses perbuatan, cara mendidik.
Adapun pengertian pendidikan menurut Muhibbin Syah, yaitu memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntunan dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.
Dalam bahasa Inggris, education (pendidikan) berasal dari kata educate (mendidik) artinya memberi peringatan (to elicit, to give rise to ) , dan mengembangkan (to evolve, to develop). Dalam pengertian yang sempit, education atau pendidikan berarti perbuatan atau proses perbuatan untuk memperoleh pengetahuan .
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan.

2. Pengertian Tradisi Keagamaan
Tardisi keagamaan adalah penggabungan dua istilah antara tradisi dan agama. Untuk lebih jelas alangkah baiknya kita ketahui dulu apa pengertian tradisi. Tradisi yang bahasa Inggrisnya tradition berasal dari kata latin traditio yakni dari tradire yaitu menyerahkan, menurunkan atau mengingkari. Tradisi juga berarti intelek (bukan intelegensi), sedangkan dalam ilmu, tradisi berarti kontunuitas pengetahuan dan motode-metode penelitian. Menurut Pranowo ( 2002 : 8) yang dikutip oleh Nur Syam Tradisi adalah suatu yang diwariskan atau ditranmisikan dari masa lalu ke masa kini. Sedangkan menurut Anton Rustanto tradisi adalah suatu perilaku yang lazim orang lakukan dalam sebuah tatanan masyarakat tertentu secara turun menurun. Hal ini dilakukan semata-mata karena sifat dari tradisi adalah kontinuitas, dilakukan terus menerus sesuai dengan apa yang dilakukan oleh para pendahulu mereka.
Setelah mengetahui pengertian tradisi, selanjutnya melangkah pada pengertian keagamaan.
Keagamaan jika ditelusuri berasal dari kata agama. Agama ialah suatu sistem kepercayaan yang disatukan oleh praktik yang berkaitan dengan hal-hal yang suci, yakni hal-hal yang diperbolehkan dan dilarang kepercayaan dan praktik-praktik yang mempersatukan komunitas moral yang disebut Gereja atau Masjid, Wihara, Pura dan sebagainya . Menurut Stenbrink (2000 : 42) yang dikutip oleh Nur Syam, tradisi keagamaan ialah kumpulan atau hasil perkembangan sepanjang sejarah; ada unsur baru yang masuk, ada yang ditinggalkan juga .
Dari beberapa pengertian di atas, secara sederhana dapat penulis simpulkan bahwa tradisi keagamaan adalah suatu tradisi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat dengan fenomena pelaksanaan ajaran agama.

3. Dasar dan Bentuk Tradisi Keagamaan
Dasar dan bentuk Tradisi keagamaan sering ditemui sulit berubah karena sudah menyatu dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, tampaknya tradisi keagamaan sudah terbentuk sebagai norma yang dibakukan dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Dalam pendidikan tradisi keagamaan merupakan unsur sosial yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat dan sulit berubah. Pada umumnya, pada masyarakat pedesaan, tradisi keagamaan erat kaitannya dengan mitos dan agama. Mitos lahir dari tradisi yang sudah mengakar kuat di suatu masyarakat, sementara agama dipahami berdasarkan kultur setempat sehingga mempengaruhi tradisi.
Dasar tradisi keagamaan memang lahir dari suatu ajaran yang bersifat normatif. Dari sudut pandang sosiologis, tradisi merupakan suatu pranata sosial, karena tradisi dijadikan kerangka acuan norma dalam masyarakat Kerangka acuan norma ini ada yang bersipat sekunder dan primer. Yang sekunder, pranata itu bercorak rasional, terbuka dan umum, kompetitif dan konflik yang menekankan legalitas, seperti pranata politik, pranata pemerintahan, ekonomi dan pasar, berbagai pranata hukum dan keterkaitan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan.
Pranata ini dapat diubah struktur dan peranan hubungan antar peranannya maupun norma-norma yang berkaitan dengan itu. Tampaknya, pranata sekunder ini bersipat fleksibel, mudah berubah sesuai dengan situasi yang diinginkan oleh pendukungnya. Sedangkan pranata primer berhubungan dengan kehormatan dan harga diri, jati diri serta kelestarian masyarakatrnya, karena, pranata ini merupakan kerangka acuan norma yang mendasar dan hakiki dalam kehidupan manusia itu sendiri
Oleh karena itu, pranata ini tidak dengan mudah dapat berubah begitu saja.
Mengacu kepada penjelasan di atas, tradisi keagamaan termasuk ke dalam pranata primer. Karena pranata keagamaan ini mengandung unsur-unsur yang berkaitan dengan Ketuhanan atau keyakinan, tindakan keagamaan, perasaan-perasaan yang bersifat mistik, penyembahan kepada yang suci, dan keyakinan terhadap nilai-nilai yang hakiki. Dalam hubungan dengan masalah kebudayaan yang sudah menjadi tradisi inilah, maka tradisi keagamaan sulit berubah, karena selain didukung oleh masyarakat, juga memuat sejumlah unsur-unsur yang memiliki nilai-nilai luhur yang berkaitan dengan keyakinan masyarakat. Demikian juga, tradisi keagamaan mengandung nilai-nilai yang sangat penting yang berkaitan dengan agama yang dianut oleh masyarakat atau pribadi-pribadi pemeluk tersebut. Dalam aspek pendidikan di Indonesia, tradisi keagamaan begitu kental sehingga dapat ditemui pada materi pelajaran yang mengandung banyak tradisi keagamaan. Secara sederhana penulis memaknai bahwa tradisi keagamaan adalah hal-hal yang mengandung ajaran agama, dalam hal ini agama Islam. Dapat kita temui dan lihat beberapa institusi pendidikan yang berbasis pesantren atau agama banyak memakai tradisi keagamaan, misalnya memasukkan materi Yasinan atau tahlilan ke dalam materi atau bahan ajar pendidikan.
Kenyataan ini tentu saja dapat penulis katakan bahwa pendidikan dan tradisi keagamaan sangat erat dan begitu sulit untuk dipisahkan. Kembali pada dasar tradisi keagamaan itu, jika kita melihat rujukan dalil naqli tentang dasar tradisi keagamaan sangat bervariatif dalam menginterpretasikannya. Misalkan kebiasaaan membaca yasin pada saat-saat tertentu. Jika dilihat dasar membaca yasin memang ada anjuran dalam Islam karena yasin adalah bagian dari ayat al-Qur’an, sedangkan bagi kaum muslimin sangat dianjurkan untuk membaca al-Qur’an dan memahaminya.Sebagaimana firman Allah dalam surat Faathir ayat : 29-30 :
•                          
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang kami anuge- rahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi,Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri ( Al-Faathir : 29-30)
Kemudian dalam hadits nabi yang diriwayatkan oleh A’isyah :


Artinya : Orang yang membaca al-Qur’an dan pandai dalam membacanya ia bersama para malaikat yang mulia. Dan yang membaca al-Qur’an dengan mengeja dan ia membacanya dengan sulit, ia mendapatkan dua pahala( Hadits Muttafaq alaih dan lafal ini dari Muslim) .


Dari al-Nu’man bin Basyir ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda, ” Yang paling utama dari ibadah ummatku adalah membaca al-Qur’an”.
Dari Ibnu Abbas, ra, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : ” Sesunggunya orang yang di dalam dadanya tidak ada al-Qur’an sama sekali, tak ubahnya seperti rumah yang rusak.” ( Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Ahmad bin Hanbal, al-Hakim, dan al—Darimi ).

PENDIDIKAN DALAM KELUARGA

PENDIDIKAN DALAM KELUARGA
Oleh: Dadang, S. Ag, S. IPI, M. Pd.I

A. Pendahuluan
Dalam dunia pendidikan, keluarga memegang peranan yang besar dan penting. Dari 3 faktor utama dalam konsep Tri Pusat Pendidikan” keluarga merupakan faktor pendukung utama bagi tercapainya tujuan pendidikan, disamping sekolah dan masyarakat. Oleh karenanya sangatlah tepat apabila dikatakan bahwa pendidikan keluarga adalah dasar atau pondasi utama dari pendidikan anak selanjutnya.
Menurut Hasan Langgulung yang dikutip oleh Jajat Burhanuddin mengatakan bahwa keluarga memiliki peran untuk membangkitkan kekuatan dan kesediaan spiritual pada anak-anak dengan memberikan keteladanan, membiasakan anak-anak dengan memberikan keteladanan, membiasakan anak-anak untuk taat pada ajaran agama, memberikan suasana keagamaan, serta memotivasi mereka untuk berpartisipasi dalam acara keagamaan.
Keluarga dapat dikatakan sebagai suatu badan social yang berfungsi mengarahkan kehidupan afektif seseorang. Di dalam keluarga, seseorang pertama kali mengalami kesenangan, kesedihan, kekecewaan, kasih sayang bahkan mungkin celaan-celaan.
Keluarga dikatakan sebagai pendidikan pertama dan utama. Pertama artinya tugas mendidik itu sudah dilakukan semenjak dalam kandungan ibu (bayi) dan utama maksudnya pendidikan rumah tangga (keluarga) itu mewariskan budaya bangsa melalui kedua orang tua secara turun-temurun dalam satu kurun waktu kehidupan tertentu. Keluarga mempunyai peranan penting karena dalam keluarga itulah suatu generasi dilahirkan dan dibesarkan. Mereka mendapat pelajaran pertama kali di lingkungan keluarga, apalagi bagi masyarakat yang belum mengenal dan menciptakan lingkungan pendidikan formal.
Melihat pentingya keluarga dalam pendidikan, maka sudah barang tentu dibutuhkan figur, peran dan keteladanan orang tua yaitu ayah dan ibu yang harus memiliki kemampuan. Kemampuan orang tua yang dimaksud adalah “Kepemimpinan orang tua”. Hal ini perlu diperhatikan, karena karakter seorang anak pada masa pertumbuhan bersifat panca roba, tidak stabil, kadang kala jauh meninggalkan jati diri atau bertentangan dengan keluarga.

B. Pembahasan
1. Dasar Pendidikan dalam Keluarga
Pendidikan di dalam keluarga merupakan pendidikan yang pertama yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan jiwa anak. Oleh karena itu, para orang tua harus betul-betul membina anak-anaknya sehingga menjadi anak yang sholeh yang pada akhirnya terbentuklah keluarga sakinah atau ketenangan yang diliputi dengan mawaddah warahmah atau cinta dan kasih sayang. Untuk tercapainya tujuan tersebut seharusnya para orang tua mengetahui dan menggali konsep dasar pendidikan keluarga sakinah yang bersumber dari Al-Qur’an maupun al- Hadits.
Pendidikan yang diberikan orang tua seharusnya memberikan dasar bagi pendidikan, proses sosialisasi dan kehidupannya di masyarakat. Dikatakan demikian karena sejak kelahirannya anak berada pada lingkungan dan di bawah asuhan orangtuanya. Pola sikap, perilaku, dan nilai-nilai yang ditanamkan orangtua kepada anak melalui pengasuhannya itu merupakan landasan fundamental bagi perkembangan kepribadian dan tingkah laku anak selanjutnya.
Dalam ajaran Islam, anak adalah amanat Allah SWT. Amanat wajib dipertanggungjawabkan oleh orang tua terhadap anaknya karena itu bukanlah sesuatu hal yang kecil. Secara umum inti tanggung jawab itu adalah menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anak dalam keluarga. Berkenanaan dengan hal ini Allah SWT berfirman dalam surat At-Tahrim (66) ayat 6 yaitu :
       ... 
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka… .
Memaknai ayat di atas tentu sangat relevan bagi keluaraga yang menjadi dasar atau tumpuhan pendidikan. Dalam hal ini keluarga tetap menjadi kelompok pertama (primary group) tempat meletakkan dasar kepribadian di dalam keluarga. Orang tua memegang peranan membentuk sistem interaksi yang intim dan berlangsung lama ditandai oleh loyalitas pribadi, cinta kasih dan hubungan yang penuh kasih sayang. Peran orangtua adalah dengan membenahi mental anak. Terbentuknya kepribadian dan kreativitas anak merupakan modal bagi penyesuaian diri anak dan lingkungannya dan tentunya memberikan dampak bagi kesejahteraan keluarga secara menyeluruh.


Peranan orang tua bagi pendidikan anak menurut Idris dan Jamal (1992) adalah memberikan dasar pendidikan, sikap, dan ketrampilan dasar seperti pendidikan agama, budi pekerti, sopan santun, estetika, kasih sayang, rasa aman, dasar-dasar untuk mematuhi peraturan-peraturan, dan menanamkan kebiasan-kebiasan. Selain itu peranan keluarga adalah mengajarkan nilai-nilai dan tingkah laku yang sesuai dengan yang diajarkan di sekolah.



Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang memberikan gambaran tentang pendidikan keluarga sakinah , di antaranya QS. Ar-Rūm (30): 21 dan QS. Luqmān (31):12-19. Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis ingin mencoba mengetahui konsep dasar pendidikan keluarga sakinah dalam perspektif Al-Qur’an pada surat tersebut.
2. .
Kata pendidikan menurut etimologi berasal darikata dasar didik.Apabila diberi awalan me,menjadi mendidik makaakan membentuk kata kerja yang berarti memelihara dan memberi latihan(ajaran). Sedangkan bila berbentuk kata benda akan menjadi pendidikanyang memiliki arti proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorangatau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upayapengajaran dan latihan.

1
Istilah pendidikan dalam konteks Islam telahbanyak dikenal dengan menggunakan term yang beragam, sepertiat-Tarbiyah, at-Ta’lim dan at-Ta’dib. Setiap term tersebutmempunyai makna dan pemahaman yang berbeda, walaupun dalam hal-haltertentu, kata-kata tersebut mempunyai kesamaan pengertian.

2
Pemakaian ketiga istilah tersebut, apalagi pengakajiannya dirujukberdasarkan sumber pokok ajaran Islam (al-Qur’an dan al-Sunnah).Selain akan memberikan pemahaman yang luas tentang pengertianpendidikan Islam secara substansial, pengkajian melalui al-Qur’andan al-Sunnahpun akan memberi makna filosofis tentang bagaimanasebenarnya hakikat dari pendidikan Islam tersebut?
Dalam al-Qur’an Allah memberikan sedikitgambaran bahwa at-Tarbiyah mempunyai arti mengasuh,menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membuat,membesarkan dan menjinakkan. Hanya saja dalam konteks al-Isra maknaat-Tarbiyah sedikit lebih luas mencakup aspek jasmani dan rohani,sedangkan dalam surat asy-Syura hanya menyangkut aspek jasmani saja.

2.

Pengertian Keluarga

Kata keluarga dapat diambil kefahaman sebagaiunit sosial terkecil dalam masyarakat, atau suatu organisasibio-psiko-sosio-spiritual dimana anggota keluarga terkait dalam suatuikatan khusus untuk hidup bersama dalam ikatan perkawinan dan bukanikatan yang sifatnya statis dan membelenggu dengan saling menjagakeharmonisan hubungan satu dengan yang lain atau hubungansilaturrahim. Sementara satu keluarga dalam bahasa Arab adalahal-Usrohyang berasal dari kata al-asruyang secara etimologis mampunyai arti ikatan. Al- Razi mengatakanal-asru maknanya mengikat dengan tali, kemudian meluas menjadi segalasesuatu yang diikat baik dengan tali atau yang lain.
Dari beberapa pengertian di atas dapatdisimpulkan bahwa pengertian pendidikan keluarga adalah prosestransformasi prilaku dan sikap di dalam kelompok atau unit sosialterkecil dalam masyarakat. Sebab keluarga merupakan lingkungan budayayang pertama dan utama dalam menanamkan norma dan mengembangkanberbagai kebiasaan dan prilaku yang penting bagi kehidupan pribadi,keluarga dan masyarakat.

3.

Bentuk-Bentuk Keluarga

Dalam norma ajaran sosial, asal-usul keluargaterbentuk dari perkawinan (laki-laki dan perempuan dan kelahiranmanusia seperti yang ditegaskan Allah dalm surat an-Nisa ayat satuyang berbunyi:

وخلق منها زوجهاوبث منها رجالا كثيرا ونساء
Artinya: Dan Ia ciptakan dari padaNyapasanganny dan Ia tebarkan dari keduanya laki-laki dan perempuan yangbanyak (an-Nisa: 1)
Asal-usul ini erat kaitannya dengan aturanIslam bahwa dalam upaya pengembang-biakan keturunan manusia,hendaklah dilakukan dengan perkawinan. Oleh sebab itu, pembentukankeluarga di luar peraturan perkawinan dianggap sebagai perbuatandosa.
Adapun bentuk-bentuk keluarga sebagaimanadijelaskan William J. Goode dapat diklasifikasikan ke dalam beberapabentuk:

1.
Keluarga nuklir (nuclear family) sekelompok keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak yang belum memisahkan diri membentuk keluarga tersendiri.
2.
Keluarga luas (extentended family) yaitu keluarga yang terdiri dari semua orang yang berketurunan dari kakek, nenek yang sama termasuk dari keturunan masing-masing istri dan suami.
3.
Keluarga pangkal (sistem family) yaitu jenis keluaarga yang menggunakan sistem pewarisan kekayaan pada satu anak yang paling tua, seperti banyak terdapat di Eropa pada zaman Feodal, para imigran Amerika Serikat, zaman Tokugawa di Jepang, seorang anak yang paling tua bertanggungjawab terhadap adik-adiknya yang perempuan sampai ia menikah, begitu pula terhadap saudara laki-laki yang lainnya.
4.
Keluarga gabungan (joint family) yaitu keluarga yang terdiri dari orang-orang yang berhak atas hasil milik keluarga, mereka antara lain saudara laki-laki pada setiap generasi, dan sebagai tekanannya pada saudara laki-laki, sebab menurut adat Hindu, anak laki-laki sejak lahirnya mempunyai hak atas kekayaan keluarganya.

3

Sementara itu dalam hubungan keluarga,Jalaluddin Rahmat mengungkapkan dalam bukunya yang berjudul KeluargaMuslim dalam Masyarakat Modernbahwa biasanya sepasang suami istri memiliki tiga struktur. Pertama,sruktur komplementer atau dengan kata lain dikenal dengan keluargatradisional. Kedua, struktur simetris atau yang sering disebut dengankeluarga modern. Ketiga, struktur pararel yang merupakan hubunganantara struktur simetris dan struktur komplementer yang kedu belahpihak tersebut saling melengkapi dan saling bergantung, tetapi dalamwaktu yang sama mereka memiliki beberapa bagian dari perilakukekeluargaan mereka yang mandiri.

4

4.

Pendidikan Keluarga

Keluarga sebagai unit sosial terkecil dalammasyarakat merupakan lingkungan budaya pertama dan utama dalam rangkamenanamkan norma dan mengembangkan berbagai kebiasaan dan perilakuyang dianggap penting bagi kehidupan pribadi, keluarga danmasyarakat.
Dalam buku TheNational Studi on Family Strength,Nick dan De Frain mengemukakan beberapa hal tentang pegangan menujuhubungan keluarga yang sehat dan bahagia, yaitu:

1.
Terciptanya kehidupan beragama dalam keluarga
2.
Tersedianya waktu untuk bersama keluarga
3.
Interaksi segitiga antara ayah, ibu dan anak
4.
Saling menghargai dalam interaksi ayah, ibu dan anak
5.
Keluarga menjadi prioritas utama dalam setiap situasi dan kondisi

Seiring kriteria keluarga yang diungkapkan diatas, sujana memberikan beberapa fungsi pada pendidikan keluarga yangterdiri dari fungsi biologis, edukatif, religius, protektif,sosialisasi dan ekonomis.

5
Dari beberapa fungsi tersebut, fungsi religius dianggap fungsi palingpenting karena sangat erat kaitannya dengan edukatif, sosialisasi danprotektif. Jika fungsi keagamaan dapat dijalankan, maka keluargatersebut akan memiliki kedewasaan dengan pengakuan pada suatu sistemdan ketentuan norma beragama yang direalisasikan di lingkungan dalamkehidupan sehari-hari.
Penanaman akidah sejak dini telah dijelaskandalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 132 yang berbunyi:
ووصىبها إبراهيم ببنيه ويعقوب‘ يا بني إنالله إصطفى لكم الدين فلا تموتن إلا وأنتممسلمون.
Artinya: Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapankepada anak-anaknya, demikian juga Ya’kub. Ibrahim berkata: haianak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, makajanganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Islam.
Secara garis besar pendidikan dalam keluargadapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

1.

Pembinaan Akidah dan Akhlak

Mengingat keluarga dalam hal ini lebih dominanadalah seorang anak dengan dasar-dasar keimanan, ke-Islaman, sejakmulai mengerti dan dapat memahami sesuatu, maka al-Ghazali memberikanbeberapa metode dalam rangka menanamkan aqidah dan keimanan dengancara memberikan hafalan. Sebab kita tahu bahwa proses pemahamandiawali dengan hafalan terlebih dahulu (al-Fahmu Ba’d al-Hifdzi).Ketika mau menghafalkan dan kemudian memahaminya, akan tumbuh dalamdirinya sebuah keyakinan dan pada akhirnya membenarkan apa yang diayakini. Inilah proses yang dialami anak pada umumnya. Bukankah merekaatau anak-anak kita adalah tanggungjawab kita sebagaimana yang telahAllah peringatkan dalam al-Qur’an yang berbunyi:
يا أيهاالذين أمنوا قوا انفسكم وأهليكم نارا.
Artinya: jagalah diri kalian dan keluargakalian dari panasnya api neraka
Muhammad Nur Hafidz merumuskan empat pola dasardalam bukunya. Pertama, senantiasa membacakan kalimat Tauhid padaanaknya. Kedua, menanamkan kecintaan kepada Allah dan Rasulnya.Ketiga, mengajarkan al-Qur’an dan keempat menanamkan nilai-nilaipengorbanan dan perjuangan.
Akhlak adalah implementasi dari iman dalamsegala bentuk perilaku, pendidikan dan pembinaan akhlak anak.Keluarga dilaksanakan dengan contoh dan teladan dari orang tua.Perilaku sopan santun orang tua dalam pergaulan dan hubungan antaraibu, bapak dan masyarakat. Dalam hal ini Benjamin Spock menyatakanbahwa setiap individu akan selalu mencari figur yang dapat dijadikanteladan ataupunidola bagi mereka.

2.
Pembinaan Intelektual

Pembinaan intelektual dalam keluarga memgangperanan penting dalam upaya meningkatkan kualitas manusia, baikintelektual, spiritual maupun sosial. Karena manusia yang berkualitasakan mendapat derajat yang tinggi di sisi Allah sebagaimanafirman-Nya dalam surat al-Mujadalah yang berbunyi:
يرفعالله الذين آمنوا منكم والذين أوتواالعلمدرجات
Artinya: Allah akan mengangkat derajatorang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu diantarakalian.
Nabi Muhammad juga mewajibkan kepadapengikutnya untuk selalu mencari ilmu sampai kapanpun sebagaimanasabda beliau yang berbunyi:
طلبالعلم فريضة على كل مسلم ومسلمة
Artinya: mencari ilmu adalah kewajiban bagimuslim dan muslimat.

3.
Pembinaan Kepribadian dan Sosial

Pembentukan kepribadian terjadi melalui prosesyang panjang. Proses pembentukan kepribadian ini akan menjadi lebihbaik apabila dilakukan mulai pembentukan produksi serta reproduksinalar tabiat jiwa dan pengaruh yang melatarbelakanginya. Mengingathal ini sangat berkaitan dengan pengetahuan yang bersifat menjagaemosional diri dan jiwa seseorang. Dalam hal yang baik ini adanyaKewajiban orang tua untuk menanamkan pentingnya memberi supportkepribadian yang baik bagi anak didik yang relative masih muda danbelum mengenal pentingnya arti kehidupan berbuat baik, hal ini cocokdilakukan pada anak sejak dini agar terbiasa berprilaku sopan santundalam bersosial dengan sesamanya. Untuk memulainya, orang tua bisadengan mengajarkan agar dapat berbakti kepada orang tua agar kelak sianak dapat menghormati orang yang lebih tua darinya.


BAB III
KESIMPULAN
Pengertian dari pendidikan keluarga adalahproses transformasi prilaku dan sikap di dalam kelompok atau unitsosial terkecil dalam masyarakat. Sebabkeluarga merupakan lingkungan budaya yang pertama dan utama dalammenanamkan norma dan mengembangkan berbagai kebiasaan dan prilakuyang penting bagi kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat.
Kunci keberhasilan pendidikan dalam keluargasebenarnya terletak pada pendidikan rohani dengan artian keagamaanseseorang. Beberapa hal yang memegang peranan penting dalam membentukpandangan hidup seseorang meliputi pembinaan akidah, akhlak, keilmuandan kreativitas yang mereka miliki.
Sedangkan pendidikan dalam keluarga itu sendirisecara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

1.
Pembinaan akdah dan akhlak
2.
Pembinaan intelektual
3.
Pembinaan kepribadian dans osial

DAFTAR PUSTAKA

J. Goode, William, SosiologiKeluarga, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.

Muhaimin, Pemikiran PendidikanIslam: Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya, Bandung:Trigenda Karya, 1993.

Poerwadarminta, W.J.S., KamusBesar Bahasa Indonesia, Jakarta: BalaiPustaka, 1985.

Rahmat, Jalaluddin dan Muhtar Gandatama, KeluargaMuslim Dalam Masyarakat Modern, Bandung:Remaja Rosdakarya, 1994.

Sujana, Djuju, PerananKeluarga Dalam Lingkungan Masyarakat,Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996.

1 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1985, hlm. 702.

2 Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya, Bandung: Trigenda Karya, 1993, hlm. 127.

3 William J. Goode, Sosiologi Keluarga, Jakarta: Bumi Aksara, 1995, hlm. 33.

4 Jalaluddin Rahmat dan Muhtar Gandatama, Keluarga Muslim Dalam Masyarakat Modern, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994, hlm. 107.

5 Djuju Sujana, Peranan Keluarga Dalam Lingkungan Masyarakat, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996, hlm. 25.

PENDIDIKAN ISLAM MODERN PERIODE KH. AHMAD DAHLAN

PENDIDIKAN ISLAM MODERN PERIODE KH. AHMAD DAHLAN
Oleh: Dadang, S. Ag, S. IPI, M. Pd. I


A. Pendahuluan
Muhammadiyah merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Bahkan Pendidikan telah menjadi “trade-merk” gerakan Muhammadiyah besarnya jumlah lembaga pendidikan merupakan bukti konkrit peran penting Muhammadiyah dalam proses pemberdayaan umat Islam dan pencerdasan bangsa. Sebuah organisasi sosial Islam yang terpenting di Indonesia sebelum Perang Dunia II dan mungkin juga sampai sekarang ini. Organisasi atau perkumpulan ini didirikan di Yogyakarta pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H oleh KH. Ahmad Dahlan (Hasbullah 2001, hlm. 94).
Dalam konteks ini Muhammadiyah tidak hanya berhasil mengantarkan bangsa Indoensia dan umat Islam dari kebodohan dan penindasan, tetapi juga menawarkan suatu model pembaharuan sistem pendidikan “modern” yang telah terjaga identitas dan kelangsungannya.
Menurut Hasbullah (2001, hlm. 96-97) Muhammadiyah bukan hanya semata bergerak di bidang pengajaran, tapi juga lapangan-lapangan lain, terutama menyangkut sosial ummat Islam. Sehubungan dengan itulah Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan mempunyai ciri-ciri khas sebagai berikut :
1. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam;
Muhammadiyah dalam melaksanakan dan memperjuangkan keyakinan dan cita-cita organisasinya berasaskan Islam. Munurut Muhammadiyah, bahwa dengan islam bisa dijamin kebahagiaan yang hakiki hidup di dunia dan akhirat, material dan spritual. Atas dasar pendirian tersebut maka Muhammadiyah berjuang mewujudkan Syari’at Islam dalam kehidupan perorangan keluarga dan masyarakat. Segala yang dilakukan oleh Muhammadiyah dalam bidang pendidikan, kemasyrakatan, kerumahtanggan, perekonomian dan sebagainya tak bisa dilepaskan dari usaha untuk melaksanakan ajaran Islam.

2. Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah;
Untuk mewujudkan keyakinan dan cita-cita Muhammadiyah yang berdasarkan islam, yaitu amar ma’ruf dan nahi munkar. Dakwah dilakukan menurut cara yang dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW. Dakwah Islam dilakukan dengan hikmah kebijaksanaan, nasihat, ajakan dan jika perlu dilakukan dengan berdialog.

3. Muhammadiyah sebagai Gerakan Tajdid
Usaha-usaha yang dirintis dan dilaksanakan menunjukkan bahwa Muhammadiyah selalu beruaha memperbaiki dan meningkatkan pemahaman Islam secara rasional, sehingga Islam lebih mudah diterima dan dihayati oleh segenap lapisan masyarakat.


Diskusi tentang pendidikan Muhammadiyah sebagai salah satu pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pemikiran para pendirinya. Salah satu tokoh pendidikan Muhammadiyah yang paling menonjol adalah KH. Ahmad Dahlan. Oleh karenanya penulis akan membahas “ Pendidikan Islam Modern Periode KH. Ahmad Dahlan”.
B. Pembahasan
1. Riwayat Hidup dan Pendidikan KH. Ahmad Dahlan

Ahmad Dahlan lahir di Kauman (Yogyakarta) pada tahun 1898 dan meninggal pada tanggal 25 Pebruari 1923. Ia berasal dari keluarga diktatis dan terkenal alim dalam ilmu agama. Ayahnya bernama KH. Abu Bakar, seorang imam dan khatib masjid besar Kraton Yogyakarta. Sementara ibunya bernama Siti Aminah, putri K.H. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di kraton Yogyakarta (Samsul Nizar 2002, hlm. 100). Melihat garis keturunananya ini maka ia adalah anak orang yang berada dan berkedudukan baik dalam masyarakat (A. Jainuri 1990, hlm. 24).
Semenjak kecil, Dahlan di asuh dan dididik sebagai putera kiyai. Pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca, menulis, mengaji al-Qur’an, dan kitab-kitab agama. Pendidikan ini diperoleh langsung dari ayahnya. Menjelang dewasa, ia mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama kepada beberapa ulama besar waktu itu. Dianataranya K.H. Muhammad Saleh (ilmu fiqih), K.H. Muhsin (ilmu nahwu), K.H.R. Dahlan (ilmu falak), K.H. Mahfudz dan Syekh Khayyat Sattokh (ilmu hadis), syekh Amin dan Sayyid Bakri (qira’at al-Qur’an) (Abdul Munir Mulkhan 1993, hlm. 63).
Setelah beberapa waktu belajar dengan sejumlah guru, pada tahun 1890 Dahlan berangkat ke Mekkah untuk melanjutkan studinya dan bermukim di sana selama setahun (Mahmud Yunus 1990, hlm. 267). Merasa tidak puas dengan hasil kunjungannya yang pertama, maka pada tahun 1903, ia berangkat lagi ke Mekah dan menetap selama dua tahun (Deliar Noer 1985, hlm. 85).
Pada usia yang masih muda, ia membuat heboh dengan membuat tanda shaf dalam masjid agung denan memakai kapur. Tanda shaf itu bertujuan untuk memberi arah kiblat yang benar dalam masjid. Menurut dia letak masjid yang tepat menghadap barat keliru, sebab letak kota Mekkah berada disebelah barat agak ke utara dari Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian yang sederhana Ahmad Dahlan berkesimpulan bahwa kiblat di masjid agung itu kurang benar, dan oleh karena itu harus dibetulkan. Penghulu kepala yang bertugas menjaga masjid Agung dengan cepat menyuruh orang membersihkan lantai masjid dan tanda shaf yang ditulis dengan benar. (Deliar Noer 1985, hlm, 85)
KH. Ahmad Dahlan memperdalam ilmu agamanya kepada para ulma’ timur tengah (Rohadi Abdul Fatah, dkk 2005, hlm.99). Beliau memperdalam ilmu fiqih kepada kiai Mahfudz Termas, ilmu hadits kepada Mufti Syafi’i, ilmu falaq kepada kiai Asy’ari Bacean. Beliau juga sempat mengadakan dialog dengan para ulama nusantara seperti kiai Nawawi Banten dan kiai Khatib dari Minangkabau yang dialog ini pada akhirnya banyak mengalami dan mendorongnya untuk melakukan reformasi di Indonesia adalah dialognya dengan syeikh Muhammad Rasyid Ridha, seorang tokoh modernis dari Mesir.
Ahmad Dahlan mulai berkenalan dengan dengan ide-ide pembaharusn yang dilakukan melalui penganalisaan kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam, seperti Ibn Taimiyah, Ibn Qoyyim al- Jauziyah, Muhammad bin Abd al- Wahab, Jamal al- Din al- Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan lain sebagainya (Samsul Nizar 2002, 101).
Selama ia berstudi di Mekkah tampaknya Tafsir al-Manar yang dikarang oleh Muhammad Abduh mendapat perhatian serius dan yang paling disenanginya. Tafsir ini memberikan cahaya terang dalam hatinya serta membuka akalnya untuk berpikir jauh ke depan tentang eksistensi Islam di Indonesia, yang pada waktu itu tertekan dari penjajah kolonial Belanda (Hasbullah 2001, hlm. 95).
Dengan kedalaman ilmu agama dan ketekunannya dalam mengikuti gagasan-gagasan pembaharuan Islam, KH. Ahmad Dahlan kemudian aktif menyebarkan gagasan pembaharuan Islam ke pelosok-pelosok tanah air sambil berdagang batik. KH. Ahmad Dahlan melakukan tabliah dan diskusi keagamaan sehingga atas desakan para muridnya pada tanggal 18 November 1912 KH. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah.
Disamping aktif di Muhammadiyah beliau juga aktif di partai politik. Seperti Budi Utomo dan Sarikat Islam. Hampir seluruh hidupnya digunakan utnuk beramal demi kemajuan umat Islam dan bangsa. KH. Ahmad Dalhlan meninggal pada tanggal 7 Rajab 1340 H atau 23 Pebruari 1923 M dan dimakamkan di Kauman Yogyakarta dalam usia 55 tahun (Solichin Salam tt, hlm. 146).

2. Pemikiran Pendidikan Islam KH. Ahmad Dahlan
Menurut KH. Ahmad Dahlan, upaya strategis untuk menyelamatkan umat Islam dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan (Ahmad Syafi’i, Ma’arif 1994, hlm. 221). Pendidikan hendaknya ditempatkan pada skala prioritas utama dalam proses pembangunan ummat. Mereka hendaknya didik agar cerdas, kritis, dan memiliki daya analisis yang tajam dalam memeta dinamika kehidupannya pada masa depan (Samsul Nizar 2002, hlm. 104).
Upaya mengaktualisasikan gagasan pemikiran pendidikan KH. Ahmad Dahlan ini meliputi :
1. Landasan pendidikan yang kokoh
Landasan ini merupakan kerangka filosofis bagi merumuskan konsep dan tujuan ideal pendidikan Islam, baik secara vertikal (Khaliq) maupun horizontal (makhluk) (Abdul Munir Mulkan 1993, hlm. 66).
Dalam pandangan Islam, paling tidak ada dua sisi tugas penciptaan manusia, yaitu sebagai abd’ Allah dan khalifah fil al-ardh. Hal ini didasarkan pada al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 30 :
                     •         
Artinya : Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Depag RI 1989, hlm. 13)

Menurut Abdul Munir Mulkan (1993, hlm. 99), Dalam proses kejadiannya, manusia diberikan Allah dengan al-ruh dan al-aql. Untuk itu, pendidikan hendaknya menjadi media yang dapat mengembangkan potensi al-ruh untuk menalar petunjuk pelaksanaan ketundukan dan kepatuhan manusia kepada Khaliqnya.
Disini eksistensi akal merupakan potensi dasar bagi peserta didik yang perlu dipelihara dan dikembangkan guna menyusun kerangka teoritis dan metodologis bagaimana menata hubungan yang harmonis secara vertikal maupun horizontal dalam konteks tujuan penciptaannya.
Islam menakankan kepada umatnya untuk mendayagunakan semua kemampuan yang ada pada dirinya dalam rangka memahami fenomena alam semesta, baik alam mikro maupun makro. Meskipun dalam banyak tempat al-Qur’an senantiasa menekankan pentingnya menggunakan akal, akan tetapi al-Qur’an juga akan mengakui akan keterbatasan kemampuan akal. Ada realitas fenomena yang tidak dapat dijangkau oleh indera dan akal manusia. Hal ini disebabkan, karena wujud yang ada di alam ini memiliki dua dimensi, yaitu pisika dan metapisika. Manusia merupakan integrasi dari kedua dimensi tersebut, yaitu dimensi ruh dan jasad.
Hal ini didapat dilihat pada surat Ar-Rad ayat 2 :
                              
Artinya :
”Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, Kemudian dia bersemayam di atas 'Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu”. ( Depag RI 1989, hlm. 368).

Batasan di atas memberikan arti, bahwa dalam epistemologi pendidikan Islam, ilmu pengetahuan dapat diperoleh apabila peseerta didik (manusia) mendayagunakan berbagai media, baik yang diperoleh melalui persepsi inderawi, akal, kalbu, wahyu maupun ilham. Oleh karena itu, aktivitas pendidikan dalam Islam hendaknya memberikan kemungkinan yang sebesar-besarnya bagi pengembangan kesemua dimensi tersebut.
Menurut Ahmad Dahlan, pengembangan merupakan proses integrasi ruh dan jasad. Konsep ini diketengahkannya dengan menggariskan perlunya pengkajian ilmu pengetahuan secara langsung, sesuai prinsip-prinsip al-Qur’an dan Sunnah, bukan semata-mata dari kitab tertentu ( Fahry Ali dan Bachtiar Effendy 1986, hlm. 76) .
Menurut Samsul Nizar ( 2002, hlm. 107), Dahlan mencoba menggugat praktek pendidikan Islam pada masanya. Pada waktu itu, pelaksanaan pendidikan hanya dipahami sebagai proses pewarisan adat dan sosialisasi perilaku dan individu maupun sosial yang telah menjadi model baku dalam masyarakat. Menurutnya pendidikan tidak memeberikan kebebasan peserta didik untuk berkreasi dan mengambil prakarsa. Kondisi yang demikian menyebabkan pelaksanaan pendidikan berjalan searah dan tidak bersifat dialogis. Padahal, menurut dahlan, pengembangan daya kritis, sikap dialogis, menghargai potensi akal dan hati yang suci, merupakan cara strategis bagi peserta didik mencapai pengetahuan tinggi (Abdul Munir Mulkhan 1993, hlm. 146).
Dari batasan ini terlihat jelas bahwa Ahmad Dahlan ingin meletakkan visi dasar bagi reformasi pendidikan Islam melalui penggabungan sistem pendidikan modern dan tradisional secara harmonis dan integral.
2. Tujuan Pendidikan Islam
Menurut KH. Ahmad Dahlan, pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya (Asmuni Abdurrahman 1990, hlm. 120) .
Tujuan pendidikan tersebut merupakan pembaharuan dari tujuan pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah model Belanda. Di satu sisi pendidikan pesantren hanya bertujuan utnuk menciptakan individu yang salih dan mengalami ilmu agama. Sebaliknya, pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan sekuler yang didalamnya tidak diajarkan agama sama sekali. Akibat dualisme pendidikan tersebut lahirlah dua kutub intelegensia : lulusan pesantren yang menguasai agama tetapi tidak menguasai ilmu umum, dan sekolah Belanda yang menguasai ilmu umum tetapi tidak menguasai ilmu agama.
Melihat ketimpangan tersebut KH. Ahamd Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu yang utuh menguasai ilmu agama dan ilmu umum, material dan spritual serta dunia dan akhirat. Bagi KH. Ahmad Dahlan kedua hal tersebut (agama-umum, material-spritual dan dunia-akhirat) merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Inilah yang menjadi alasan mengapa KH. Ahmad Dahlan mengajarkan pelajaran agama dan ilmu umum sekaligus di Madrasah Muhammadiyah.
3. Materi pendidikan
Berangkat dari tujuan pendidikan tersebut KH. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa kurikulum atau materi pendidikan hendaknya meliputi:
a) Pendidikan moral, akhlaq yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik berdasarkan Al-Qur’an dan Al- Hadis.
Materi al-Qur’an dan Hadis meliputi : ibadah, persamaan derajat, fungsi perbuatan manusia dalam menentukan nasibnya, musyawarah, pembuktian kebenaran al-Qur’an dan hadis menurut akal, kerjasama antara agama – kebudayaan kemajuan peradaban, hukum kausalitas perubahan, nafsu dan kehendak, demokrasi dan liberalisasi, kemerdekaan berpikir, dinamika kehidupan dan pearanan manusia di dalamnya, dan akhlak ( budi pekerti)( Abdul Munir Mulkhan 1993, hlm.147).
Bepijak pada pandangan di atas sesungguhnya, Ahmad Dahlan mnginginkan pengelolaan pendidikan Islam secara modern dan profesional, sehingga pendidikan yang dilaksanakan mampu memenuhi kebutuhan peserta didik menghadapi dinamika zamannya. Untuk itu pendidikan Islam perlu membuka diri, inovatif, dan agresif.
b) Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh yang berkesinambungan antara perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan dan intelek serta antara dunia dengan akhirat.
c) Pendidikan kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.
d) Model Mengajar
Di dalam menyampaikan pelajaran agama KH. Ahmad Dahlan tidak menggunakan pendekatan yang tekstual tetapi kontekstual. Karena pelajaran agama tidak cukup hanya dihafalkan atau dipahami secara kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan kondisi.

C. Penutup
Muhammadiyah sebuah organisasi sosial Islam yang terpenting di Indonesia sebelum Perang Dunia II dan mungkin juga sampai sekarang ini. Muhammadiyah bukan hanya semata bergerak di bidang pengajaran, tapi juga lapangan-lapangan lain, terutama menyangkut sosial ummat Islam.
Ahmad Dahlan lahir di Kauman (Yogyakarta) pada tahun 1898 dan meninggal pada tanggal 25 Pebruari 1923. Pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca, menulis, mengaji al-Qur’an, dan kitab-kitab agama. Pendidikan ini diperoleh langsung dari ayahnya. Menjelang dewasa, ia mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama kepada beberapa ulama besar waktu itu. Dianataranya K.H. Muhammad Saleh (ilmu fiqih), K.H. Muhsin (ilmu nahwu), K.H.R. Dahlan (ilmu falak), K.H. Mahfudz dan Syekh Khayyat Sattokh (ilmu hadis), syekh Amin dan Sayyid Bakri (qira’at al-Qur’an).
Gagasan pemikiran pendidikan KH. Ahmad Dahlan ini meliputi : Landasan pendidikan yang kokoh dan tujuan Pendidikan Islam yang diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Materi pendidikan hendaknya meliputi: Pendidikan moral, akhlaq yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik berdasarkan Al-Qur’an dan Al- Hadis, pendidikan individu, pendidikan kemasyarakatan dan model mengajar.
Demikian makalah yabg sederhana ini dapat penulis sajikan, muda-mudahan akan menambah khasanah ilmu pengetahuan bagi kita semua khusunya bagi penulis pribadi. Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis harapkan kritik dan saran dari teman-teman yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Wassalam.









REFERENSI


A. Jainuri, Muhammadiyah Gerakan Reformasi Islam di Jawa pada awal Abad ke-20, Surabaya : Bina Ilmu, 1990.

Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelek Muslim, Yogyakarta : Sippress, 1993.

Ahmad Syafi’i Ma’arif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Bandung : Mizan, 1994.

Asmuni Abdurrahman, Muhammadiyah : Pemikiran dan Amal Usaha, Malang : Pusat Dekomentasi dan Publikasi Univ. Muhammadiyah, 1990.

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1985.

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang : CV. Toha Putra, 1989.

Fahry Ali dan Bachtiar Effendy, Merambah jalan Baru Islam : Rekonstruksi Pemikiran Indonesia Masa Orde Baru, Bandung, : Mizan, 1986.

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001.

Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Hidakarya Agung, 1990.

Rohadi Abdul Fatah, dkk, Rekonstruksi Pesantren Masa Depan: Dari Tradisional, Modern, Hingga Post Modern, Jakarta : Listafariska Putra, 2005.

Samsul Nizar, MA, Filsafat Pendidikan Islam : Pendidikan Historis, Teoritis, Jakarta : Ciputat Pers, 2002.

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DAN GERAKAN INTELEKTUAL MASA ABBASIYAH

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DAN GERAKAN INTELEKTUAL MASA ABBASIYAH
Oleh: Dadang, S. Ag, S. IPI, M. Pd.I

A. Pendahuluan
Dinasti Abbasiyah merupakan kelanjutan dari dinasti Umayyah, dimana pendiri dari khilafah ini adalah keturunan Al-Abbas, paman Nabi Muhammad SAW, yaitu Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Dimana pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abass. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) sampai dengan 656 H (1258 M) (Khaled Abou El Fadl 2000, hlm. 537).
Seiring dengan stabilnya kondisi sosial politik terutama terutama pada masa pertengahan pemerintahan Abbasiyah, aktivitas pendidikan dan ilmu pengetahuan berkembang dengan begitu mengagumkan. Beberapa prestasi umat Islam pada masa ini mampu menempatkan umat Islam pada puncak kejayaannya. Peradaban Islam menapaki zaman keemasan ( The Golden Age)
The Golden Age atau zaman kemasan Islam berlangsung pada zaman dinasti Abbasiyah merupakan fakta sejarah. Perbandingan kemajuan yang pernah diperoleh antara masa Nabi, Khilafah Rasyidah, kekuasaan Bani Umayyah dengan kekuasaan Dinasti Abbasiyah juga sangat signifikan. Kalau kemajuan Islam pada masa Nabi dapat disebut sebagai kemajuan di bidang agama dan politik, pada masa khalifah Rasyidah sebagai kemajuan politik dan meliter, pada masa Bani Umayyah sebagai kemajuan politik, ekonomi dan militer, maka kemajuan Dinasti Abbasiyah menambah panjang pencapaian kemajuan itu yakni politik, militer, ekonomi, sains dan peradaban.
Pada bidang pendidikan pemerintahan Abbasiyah memberikan torehan sejarah yang sangat istimewa. Produk pendidikan Islam pada babak ini memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap kebangkitan peradaban Erofa. Perkembangan intelektual dimulai denga diterjemahkannya khasanah intelektual Yunani klasik seperti filsafat Aristoteles, Khalifah sendiri mengalokasikan anggaran khusus untuk menggaji para penterjemah. Untuk melengkapi kehausan terhadap ilmu pengetahuan, harun al- Rasyid mendirikan perpustakaan yang diberi nama Bait al- Hikmah. Lembaga ini selain berfungsi sebagai perpustakaan dan pusat penerjemahan juga berfungsi sebagai akademi. Cabang-cabang ilmu yang diutamakan dalam Bait al-Hikmah adalah filsafat, ilmu kedokteran, matematika, optic, fisika, geografi, astronomi dan sejarah. Penerjemahan buku-buku Yunani merupakan salah satu factor dalam gerakan intelektual yang dibangkitkan dalam dunia Islam abad ke -9 dan terus berlanjut sampai abad ke- 12.
Menurut W. Montgomery Watt (1990, hlm. 100), sebelum munculnya penerjemahan buku-buku Yunani telah terjadi kegiatan inteletual yang gencar dikalangan orang-orang islam terutama mengenai masalah-masalah fiqih. Sedangkan menurut Mehdi Nakosten ( 1964, hlm. 33 ), gerakan penerjemahan yang berlangsung di Baghdad tidak dapat dilepaskan dari gerakan penerjemahan yang sebelumnya dilakukan pada masa kerajaan Sassaniah, yakni yang berpusat di sebuah akdemi Jundishapur. Akademi ini merupakan pusat penerjemahan karya-karya ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani serta Hindu ke dalam bahasa Pahlevi. Dari sekolah ini pula muncul beberapa terjemahan penting dari bahasa Sansekerta, Pahlevi, dan Syiria ke dalam bahasa Arab.
B. Pembahasan
1. Pengaruh Filsafat Yunani, Hellenisasi Pengetahuan Atau Islamisasi Ilmu.
Sumbangan utama Bani Abbas dalam sejarah peradaban Islam, berbeda dengan Bani Umayyah yang lebih mengedepankan aspek politik, adalah dukungannya yang besar terhadap perkembangan keilmuan, filsafat dan sains.
Secara umum, kebanyakan khalifah Bani Abbas adalah orang yang gandrung ilmu dan hikmah, dan memberikan dukungan besar pada bidang ini. Al-Makmun (813-833 M)( George A Makdisi dkk 2005, hlm. 30) adalah khalifah yang mempelopori proses penterjemahan filsafat Yunani ke dalam Islam, yang kemudian didukung oleh penggantinya, Harun al-Rasyid, dengan didirikannya Bait al-Hikmah, perpustakaan besar dan pusat penelitian.
Hasil terjemahan-terjemahan filsafat dan pemikiran Yunani kemudian memberikan kontribusi besar bagi perkembangan filsafat, pemikiran dan sains Islam (W. Montgomery Watt 1990, hlm. 68). Meski demikian, dalam masalah ini, harus segera dikatakan bahwa hal itu bukan berarti pemikiran dan filsafat Islam berasal dari Yunani, atau bahwa Islam tidak mempunyai pemikiran filosofis dan rasional sendiri yang orisinal seperti dituduhkan Renan dan Duhem.
Pertama, bahwa belajar atau berguru tidak berarti meniru semata. Suatu ide dapat dibahas oleh banyak orang dan akan tampil dalam berbagai macam fenomena. Seseorang berhak mengambil sebagian gagasan orang lain tetapi itu semua tidak menghalanginya untuk menampilkan teori atau filsafatnya sendiri. Aristoteles, misalnya, jelas merupakan murid Plato (427-348 SM) ( Emmanuel Gerrit Singgih 2004, hlm. 237), tetapi ia mempunyai pandangan sendiri yang tidak dikatakan gurunya. Begitu pula Barush Spinoza (1632-1777 M) walau secara jelas sebagai pengikut Rene Descartes (1596-1650 M) tetapi ia dianggap mempunyai pandangan filosofis yang berdiri sendiri.
Hal seperti itulah yang juga terjadi pada para filosof muslim. Al-Farabi (870-950 M) dan Ibn Sina (980-1037 M) ( M. Hadi Masruri dan Fuad Mustafid 2005, hlm. 26). Walau sebagai murid Aristoteles, tetapi ia mempunyai pandangan sendiri yang tidak sama dengan gurunya. Para filosof muslim secara umum hidup dalam lingkungan dan kondisi yang berbeda dengan filosof lainnya, sehingga adalah suatu kesalahan jika kita mengabaikan pengaruh kondisi ini dalam pemikiran dan teori mereka.
Dengan demikian, bisa dikatakan, bahwa (1) apa yang disebut transmisi filsafat Yunani ke Arab merupakan suatu proses kompleks dimana ia sering banyak dipengaruhi oleh interpretasi-interpretasi yang diberikan melalui suatu tradisi skolastik sebelumnya, dan kadang kala dalam istilah-istilah yang sudah digunakan secara teknis dalam disiplin baru yang berkaitan dengan bahasa Arab atau Islam.
Konsekuensinya, tugas rekonstruksi sumber Yunani untuk ilmu dan filsafat tidak mungkin selalu diharapkan berbentuk suatu terjemahan yang jelas kedalam sesuatu yang dianggap asli Yunani, tetapi harus mempertimbangkan aktivitas yang terjadi diluar teks, dan karena itu harus direkonstruksi secara terlepas dari teks. (2) Perluasan-perluasan, pengembangan dan penggarapan kembali ide-ide Yunani dari al-Kindi (801-878 M) sampai Ibn Rusyd (1126-1198 M), bahkan Suhrawardi (1153-1191 M) dan sesudahnya tidak mungkin sepenuhnya bisa diapresiasikan tanpa merujuk pada situasi-situasi kultural yang mengkondisikan arah dan karakter karya-karya tersebut. (3) karena itu pula, presentasi karya-karya muslim secara terpisah dari faktor-faktor cultural akan menjadi suatu deskripsi yang tidak lengkap, deskripsi yang tidak bisa menjelaskan sendiri transformasi besar yang sering terjadi ketika batas-batas kultural sudah terlewati (Sabra 1992, hlm. 90).
Sedemikian, sehingga tidak bisa dibantah bahwa karya-karya filsafat Islam disusun berdasarkan nilai-nilai pokok agamanya dan kondisi sosial yang melingkupinya. Artinya, peradaban Islam adalah sesuatu yang berdiri sendiri, mempunyai arah, gaya, dan persoalan sendiri, tidak sekedar peralihan dari pemikiran dan peradaban Yunani. Kedua, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa pemikiran rasional telah dahulu mapan dalam masyarakat muslim sebelum kedatangan filsafat Yunani. Tercatat dalam sejarah, terjemahan buku-buku filsafat Yunani yang memberikan kontribusi besar bagi perkembangan pemikiran dan filsafat Islam baru di mulai pada masa al-Makmun oleh orang-orang seperti Yahya al-Balmaki (w. 857 M), Yuhana ibn Musyawaih dan Hunain ibn Ishaq (Philip Khuri Hitti 2005, hlm. 363).
Pada masa-masa ini, sistem berpikir rasional telah berkembang pesat dalam masyarakat intelektual Arab-Islam, yakni dalam fiqh (yurisprudensi) dan kalam (teologi). Dalam teologi, doktrin Muktazilah yang rasional, yang dibangun Wasil ibn Atha’ (699-748 M) telah mendominasi pemikiran masyarakat, bahkan menjadi doktrin resmi negara dan berkembang dalam berbagai cabang, dengan tokohnya masing-masing, seperti Amr ibn Ubaid (w. 760 M), Jahiz Amr ibn Bahr (w. 808 M), Abu Hudzail ibn al-Allaf (752-849 M), Ibrahim ibn Sayyar an-Nadzam (801-835 M), Mu`ammar ibn Abbad (w. 835 M) dan Bisyr ibn al-Mu`tamir (w. 840 M).
Begitu pula dalam bidang fiqh. Penggunaan nalar rasional dalam penggalian hukum (istinbâth) dengan istilah-istilah seperti istihsân, istishlâh, qiyâs dan lainnya telah lazim digunakan. Tokoh-tokoh mazhab fiqh yang menelorkan metode istinbâth dengan menggunakan rasio seperti Abu Hanifah (699-767 M), Malik (716-796 M), Syafi’i (767-820 M) dan Ibn Hanbal (780-855 M), hidup sebelum kedatangan filsafat Yunani. Semua itu menunjukkan bahwa sebelum dikenal adanya logika dan filsafat Yunani, telah ada model pemikiran filosofis yang berjalan baik dalam masyarakat Islam, yakni dalam soal-soal teologis dan kajian hukum. Bahkan, pemikiran rasional dari teologi dan hukum inilah yang telah berjasa menyiapkan landasan bagi diterima dan berkembangnya logika dan filsafat Yunani dalam Islam (Muhsin Mahdi 1992, hlm. 56).

2. Faktor Pendukung Perkembangan Pendidikan dan Gerakan Intelektual
Sebagaimana diuraikan di atas, puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa Bani Abbas sendiri. Sebagian di antaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam. Dalam bidang pendidikan, misalnya, di awal Islam, lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat :
1. Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadis, fiqh dan bahasa.
2. Tingkat pendalaman. Para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung di istana atau di rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli ke sana (Hasan Ibrahim Hasan 1989, hlm. 129).
Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas, dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi (Badri Yatim 2008, hlm. 55).
Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Disamping itu, kemajuan itu paling tidak, juga ditentukan oleh dua hal, yaitu:
1. Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia, sebagaimana sudah disebutkan, sangat kuat di bidang pemerintahan. Disamping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu, terutama filsafat.
2. Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Ma’mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/10/1/pustaka-149.html).
Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode, penafsiran pertama, tafsir bi al-ma’tsur, yaitu interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi dari Nabi dan para sahabat. Kedua, tafsir bi al-ra’yi, yaitu metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran daripada hadis dan pendapat sahabat. Kedua metode ini memang berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi jelas sekali bahwa tafsir dengan metode bi al-ra’yi, (tafsir rasional), sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan. Hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqh dan terutama dalam ilmu teologi. Perkembangan logika di kalangan umat Islam sangat mempengaruhi perkembangan dua bidang ilmu tersebut (Badri Yatim 2008, hlm. 56).
Imam-imam mazhab hukum yang empat hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama. Imam Abu Hanifah (700-767 M) dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di Kufah, kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia yang hidup kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi (Harun Nasution 2005, hlm. 14). Karena itu, mazhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional daripada hadis. Muridnya dan sekaligus pelanjutnya, Abu Yusuf, menjadi Qadhi al-Qudhat di zaman Harun al-Rasyid.
Berbeda dengan Abu Hanifah, Imam Malik (713-795 M) banyak menggunakan hadis dan tradisi masyarakat Madinah. Pendapat dua tokoh mazhab hukum itu ditengahi oleh Imam Syafi’i (767-820 M) dan Imam Ahmad ibn Hanbal (780-855 M). Disamping empat pendiri mazhab besar tersebut, pada masa pemerintahan Bani Abbas banyak mujtahid mutlak lain yang mengeluarkan pendapatnya secara bebas dan mendirikan mazhab-nya pula. Akan tetapi, karena pengikutnya tidak berkembang, pemikiran dan mazhab itu hilang bersama berlalunya zaman.
Aliran-aliran teologi sudah ada pada masa Bani Umayyah, seperti Khawarij, Murjiah dan Mu’tazilah. Akan tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi rasional Mu’tazilah muncul di ujung pemerintahan Bani Umayyah. Namun, pemikiran-pemikirannya yang lebih kompleks dan sempurna baru dirumuskan pada masa pemerintahan Bani Abbas periode pertama, setelah terjadi kontak dengan pemikiran Yunani yang membawa pemikiran rasional dalam Islam (W. Montgomery Watt1987, hlm. 54-113).
Tokoh perumus pemikiran Mu’tazilah yang terbesar adalah Abu al-Huzail al-Allaf (135-235 H/752-849 M) dan al-Nazzam (185-221 H/801-835 M). Asy’ariyah, aliran tradisional di bidang teologi yang dicetuskan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (873-935 M) yang lahir pada masa Bani Abbas ini juga banyak sekali terpengaruh oleh logika Yunani. Ini terjadi, karena al-Asy’ari sebelumnya adalah pengikut Mu’tazilah. Hal yang sama berlaku pula dalam bidang sastra. Penulisan hadis, juga berkembang pesat pada masa Bani Abbas (http://www.com/index.php?pustaka-149.html).
Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah. Dalam lapangan astronomi terkenal nama al-Fazari sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe. Al-Fargani, yang dikenal di Eropa dengan nama al-Faragnus, menulis ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona dan Johannes Hispalensis (Harun Nasution 1985, hlm. 71).
Dalam lapangan kedokteran dikenal nama al-Razi dan Ibn Sina. Al-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran anak (A. Razaq Naufal 1987, hlm. 47).
Sesudahnya, ilmu kedokteraan berada di tangan Ibn Sina. Ibn Sina yang juga seorang filosof berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia. Diantara karyanya adalah al-Qoonuun fi al-Thibb yang merupakan ensiklopedi kedokteran paling besar dalam sejarah ( Badri Yatim 2008, hlm. 58).
Dalam bidang optikal Abu Ali al-Hasan ibn al-Haythami, yang di Eropa dikenal dengan nama Alhazen, terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke benda yang dilihat. Menurut teorinya yang kemudian terbukti kebenarannya bendalah yang mengirim cahaya ke mata. Di bidang kimia, terkenal nama Jabir ibn Hayyan. Dia berpendapat bahwa logam seperti timah, besi dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak dengan mencampurkan suatu zat tertentu. Di bidang matematika terkenal nama Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, yang juga mahir dalam bidang astronomi. Dialah yang menciptakan ilmu aljabar. Kata “aljabar” berasal dari judul bukunya, al-Jabr wa al-Muqoibalah (A. Razaq Naufal 1987, hlm. 88). Dalam bidang sejarah terkenal nama al-Mas’udi. Dia juga ahli dalam ilmu geografi. Diantara karyanya adalah Muuruj al-Zahab wa Ma’aadzin al-Jawahir (Badri Yatim 2008, hlm. 58 ).
Tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafat, antara lain al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd. Al-Farabi banyak menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles. Ibn Sina juga banyak mengarang buku tentang filsafat. Yang terkenal diantaranya ialah al-Syifa’. Ibn Rusyd yang di Barat lebih dikenal dengan nama Averroes, banyak berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat, sehingga di sana terdapat aliran yang disebut dengan Averroisme (Badri Yatim 2000, hlm. 53-54).
3. Gerakan Mihna dalam Pemikiran Islam
Mihnah adalah suatu kebijaksanaan yang dilakukan oleh khalifah al-Makmun tentang diberlakukannya pemeriksaan atau lebih tepatnya dikatakan pemaksaan kepada rakyatnya terhadap penerimaan doktrin al-Qur’an itu makhluk. Peristiwa ini dilaksanakan dengan menggunakan kekuatan politik, bahkan dengan kekerasan .
Mihnah (inkuisisi) merupakan instusi resmi dalam melancarkan gerakannya. Diceritakan dalam literatur-literatur sejarah bahwa yang menjadi korban kekerasan pada masa Mihnah adalah golongan ahli hadis. Mereka memaksa orang yang berpegang teguh pada pendapat ahli hadis yang menyatakan bahwa al-Qur’an itu qadim.
Sebagian besar tokoh ahli hadis akhirnya terpaksa menyatakan sependapat dengan mereka, hanya satu tokoh yang bersikeras dengan pendapatnya, ia adalah Ahmad Ibn Hanbal (720 – 855 M) yang tetap bertahan pada pendiriannya meski ia menderita hukuman cambuk di punggungnya hingga terkelupas.
Pada masa kekhalifahan al-Ma’mun (198-218 H/813-833 M), Mu’tazilah (aliran yang mendasarkan agama Islam pada al-Qur’an dan akal) dijadikan sebagai mazhab resmi negara. Al-Ma’mun memaksa semua pejabat negara dan tokoh-tokoh agama mengikuti paham ini, terutama yang berkaitan dengan anggapan bahwa al-Qur’an adalah mahluk. Pemaksaan terhadap paham tersebut lebih dikenal dengan sebutan Mihnah (inquisition), yaitu “ujian aqidah” terhadap pejabat dan para ulama (Ensiklopedi Islam Indonesia 1992, hal. 298).
Sementara itu, materi pokok yang diajarkan kepada aqidah mereka, adalah tentang al-Qur’an. Bagi Mu’tazilah, al-Qur’an adalah mahluk yang merupakan ciptaan Allah, tidak qadim sebab tidak ada sesuatu pun yang qadim selain eksistensi Allah SWT. Selanjutnya, Mu’tazilah mengklaim orang-orang yang berpendapat al-Qur’an adalah qadim berarti telah berbuat syirik, yang merupakan tindakan dosa besar, tidak dapat diampuni. Untuk menghilangkan syirik, maka Khalifah al-Ma’mun (sepaham dengan Mu’tazilah) mengadakan tindakan Mihnah.
Masa Khalifah al-Ma’mun kajian-kajian tentang masalah ilmiah, filsafat dan teologi menjadi tidak berkembang karena dia lebih tertarik pada bidang militer (meskipun hal-hal di atas merupakan wasiat yang harus dijalankan). Namun, kebijakan Mihnah tetap dilaksanakan. Mihnah pada masa al-Ma’mun berlangsung sangat ketat, bahkan sampai khalifah al-Watsiq (227-232 H / 842-847 M). Terdapat kejadian yang sangat kejam pada masa pemerintahan al-Watsiq yang menimpa Ahmad ibn Nashar ibn Malik ibn al-Haitsam al-Kuzdi (salah satu moyangnya pendiri dari Daulah Abbasiyah). Ia menolak untuk meyakini al-Qur’an adalah mahluk, akhirnya beliau dihukum pancung, dan kepalanya dipancangkan silih berganti pada penjuru ibukota . Demikian, ilustrasi kecil betapa ketatnya Mihnah itu diterapkan. Namun, kebijakan Mihnah bergeser pada paham Ahlussunnah wal Jamaah saat masa Khalifah al-Mutawahil (232-247 H / 847-861 M) (H.M. Joesoef Sou’yb 1997, hlm. 244-246).
Selain itu, kondisi yang perlu dilihat di masa ‘Abbasiyah pada akhir periode pertama adalah satu kondisi yang diakibatkan dari kebijakan Mihnah di masa al-Mu’tashim yang tidak begitu ketat dalam penegakannya. Mungkin dikarenakan ia seorang ahli militer yang tidak begitu memperhatikan kegiatan keilmuan.
Naluri kemiliterannya lebih tertarik dengan keberanian dan keteguhan Ahmad Ibn Hanbal dalam mempertahankan prinsipnya sehingga akhirnya Ahmad Ibn Hanbal tidak dibunuh. Berita keberanian Ahmad Ibn Hanbal tersebar luas di kalangan Ahlussunnah. Hal ini menumbuhkan rasa heroik di tengah-tengah masyarakat sehingga lambat laun dukungan terhadap Ahmad Ibn Hanbal dan Ahlussunnah bertambah besar (Harun Nasution 1986, 63). Dengan kata lain, kebijakan Mihnah bukan memperkecil militansi dukungan terhadap kalangan Ahlussunnah, tetapi justru semakin banyak pendukungnya (Joesoef Sou’yb, hlm. 181.), terlihat dari betapa besarnya simpatisan Ahmad Ibn Hanbal.
Kondisi politik yang sedikit rentan dan keberpihakan masyarakat terhadap kaum ortodoks semakin banyak, kemudian dipahami secara jeli oleh al-Mutawakkil ketika baru menjabat sebagai kepala pemerintahan, lalu ia mengakhiri kebijakan Mihnah dan mendukung pendapat kalangan Ahlussunnah. Agaknya di balik kebijakan itu ia mempunyai hasrat untuk mempertahankan keutuhan kekuasaannya dengan bahasa memulihkan suasana masyarakat yang damai.( Joesoef Sou’yb, hlm. 181).
Jadi, dapat diasumsikan bahwa yang melatarbelakangi khalifah al-Mutawakkil mengubah kebijakan itu adalah karena kondisi di atas. Tetapi, kita perlu melihat latar-belakang yang lain kenapa ia berbuat seperti itu. Al-Mutawakkil adalah putra dari khalifah al-Mu’tashim dengan istri budak dari Khawarizmi yang bernama Syuja’. Ia memerintah di usia 26 tahun, dan menjabat khalifah selama lima tahun (232-247 H / 847-861 M). Ia berbeda dengan pamannya dan bapaknya serta saudaranya. Ia seorang ortodoks dan bersikap bermusuhan terhadap aliran I’tizal. Pada masanya, ia mengeluarkan dekrit tentang sekte Syi’ah yang berisikan penghancuran bangunan-bangunan suci Syi’ah, termasuk makam al-Husain Ibn Ali, Kaum Syi’ah dilarang berziarah ke tempat tersebut. Kemudian di masanya pula ia banyak membangun bangunan fisik akibat banyaknya bencana (E.J. Brill 1987, hlm. 786).
Ketika ia naik tahta maka tindakannya yang pertama-tama ialah membebaskan Imam Ahmad Ibn Hanbal dari tahanannya, yang sebelumnya ia ditahan kembali oleh khalifah al-Watsiq karena kritik-kritiknya yang tajam terhadap khalifah (H.M. Joesoef Sou’yb 1997, hlm. 162). Tindakan khalifah al-Mutawakkil itu disambut hangat oleh kalangan Sunni, terutama kalangan ahli hadis yang ingin memurnikan tauhid dan kembali kepada bentuk kesederhanaan berpikir tanpa pembahasan-pembahasan yang logis dan rasional (mantiqi). Sejalan dengan pola pikir khalifah al-Mutawakkil yang ortodoks, ia memulihkan kembali kedudukan aliran Sunni dan mengumumkan larangan terhadap aliran Mu’tazilah. Di ibukota berlangsung demonstrasi-demonstrasi mendukung tindakan tersebut, di bawah pimpinan pemukanya, Ahmad Ibn Hanbal (H.M. Joesoef Sou’yb 1997, hlm. 102).
Masih dalam kaitannya dengan dukungan al-Mutawakkil terhadap kalangan Ahlussunnah, ia menganjurkan untuk mengembangkan al-Hadis, terutama hadis-hadis mengenai sifat-sifat Allah dan hadis-hadis tentang rukyat atau penyaksian terhadap Allah (Ahmad Amin, hlm. 198 ).
Kepada para muhadditsin ia memerintahkan supaya memperbanyak jumlah hadis sehingga pada masa itu aliran ahlussunnah sangat menonjol. Al-Mas’udi, seorang penulis sejarah muslim pertama yang menggunakan metode topik dalam menulis sejarah, menggambarkan suasana pada masa khalifah al-Mutawakkil dalam karyanya Muruju al-Zahaby jilid II hal. 288, ia menceritakan bahwa setelah kekhalifahan berpindah kepada al-Mutawakkil, maka ia pun memerintahkan supaya menghentikan segala macam diskusi dan dialog, dan menghentikan segala macam kegiatan yang berlangsung pada masa al-Mu’tashim dan al-Watsiq, dan memerintahkan kepada seluruh orang untuk ber-taslim dan ber-taqlid.

C. Simpulan
Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abass. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M).
Pada masa Abbasiyah bidang pendidikan mengalami masa keemasan. Popularitasnya mencapai puncaknya pada masa khalifah al-Rasyid dan putranya, khalifah al-Makmun. Kemajuan tersebut ditentukan oleh dua hal :
1. Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa lain yang telah dahulu mengalami perkembangan dalam ilmu pengetahuan.
2. Gerakan penterjemahan guna menciptakan tradisi keilmuan yang kondusif.
Disamping itu juga didukung oleh tradisi intelektual yakni tradisi membaca, menulis, berdiskusi, keterbukaan/ kebebasan berfikir, penelitian, serta pengabdian mereka akan keilmuan yang mereka kuasai. Kemajuan bidang Iptek yang telah dicapai meliputi: Geometri, trigonometri, musik, geografi, antidote (penawar racun), ilmu kedokteran, dan filsafat.
Perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam sangat pesat, walau tercatat ada priode dimana pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.
Munculnya gerakan Mihnah yang dilakukan oleh khalifah al-Makmun tentang diberlakukannya pemeriksaan atau lebih tepatnya dikatakan pemaksaan kepada rakyatnya terhadap penerimaan doktrin al-Qur’an itu sebagai makhluk. Peristiwa ini dilaksanakan dengan menggunakan kekuatan politik, bahkan dengan kekerasan. Mihnah merupakan instusi resmi dalam melancarkan gerakannya. Gerakan Mihnah memunculkan banyak korban kekerasan pada masa khusunya golongan ahli hadis. Mereka memaksa orang yang berpegang teguh pada pendapat ahli hadis yang menyatakan bahwa al-Qur’an itu qadim.
Pada akhirnya kebijakan Mihnah diakhiri pada masa kepemimpinan al-Mutawakkil dan beliau mendukung pendapat kalangan Ahlussunnah. Agaknya di balik kebijakan itu ia mempunyai hasrat untuk mempertahankan keutuhan kekuasaannya dengan bahasa memulihkan suasana masyarakat yang damai.
Demikian dapat kami paparkan makalah yang sangat sederhana ini, kritik dan saran yang bersifat konstruktif dari teman-teman sangat kami harapkan. Kepada Dosen pengampu mata kuliah SPPI ini kami haturkan terima kasih yang setingi-tingginya. Wassalam


















REFERENSI
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Juz III (Mesir: Maktabah al-Nahdah al-Mishriyyah, TT).

Antony Black, Pemikiran Politik Islam : Dari Masa Nabi hingga Masa Kini, (Jakarta : Serambi, 2006).

A. Razaq Naufal, Umat Islam dan Sains Modern, (Bandung : Husaini, 1987).
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : PT Grafindo Persada, 2000).
E.J. Brill, First Encyclopedia of Islam, (Leiden & New York: Kobenhaven, V.VI, Koln, 1987).

Emmanuel Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi Dalam Konteks di Awal Milenium III, ( Yogyakarta, Kanisius, 2004)

George A Makdisi, dkk, Cita Humanisme Islam: Panorama Kebangkitan Intelektual dan Budaya Islam dan Pengaruhnya Terhadap Renaisans Barat, ( Jakarta : Serambi, 2005)

H.M. Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulah ‘Abbasiyah II. (Jakarta : Bulan Bintang 1997).
H.M. Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Abbasiyah I (Jakarta: Bulan Bintang 1997)
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta : UI Press, 2005).
Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986).

Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta : Penerbit Kota Kembang, 1989)

Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam (Jakarta: Bulan Bintang, TT)

Khaled Abou El Fadl, Musyawarah Buku : Menyusuri Keindahan Islam dari Kitab ke Kitab, (Jakarta : Serambi, 2000).

M. Hadi Masruri dan Fuad Mustafid, Ibn Thufail: Jalan Pencerahan Mencari Tuhan, ( Yogyakarta, Lkis, 2005)

Mehdi Nakosten, History of Islamic Origins of Western Education AD 800-1350. Terj. Joko S. kahar ( Colorado : Universuty of Colorodo Press, 1964)
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 9; Muhsin Mahdi, “Al-Farabi dan Fondasi Filsafat Islam”, dalam Jurnal al-Hikmah, (edisi 4, Februari 1992).

Philip Khuri Hitti, History of the Arabs: Rujukan Induk dan Paling Otoritatif Tentang Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta, Serambi, 2005).

Sabra, “Apropriasi dan Naturalisasi Ilmu-Ilmu Yunani dalam Islam, Sebuah Pengantar”, dalam Jurnal al-Hikmah, (edisi 6, Oktober 1992).

Tim Penyusun Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992)
W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam Tinjauan Kritis, (Yogyakarta, Tiara Wacana, 1990).
_______________, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, (Jakarta : P3M, 1987).
______________, The Majesty That Was Islam. Terj. Hartono Hadikumoro, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1990)