PENDIDIKAN ISLAM MODERN PERIODE KH. AHMAD DAHLAN
Oleh: Dadang, S. Ag, S. IPI, M. Pd. I
A. Pendahuluan
Muhammadiyah merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Bahkan Pendidikan telah menjadi “trade-merk” gerakan Muhammadiyah besarnya jumlah lembaga pendidikan merupakan bukti konkrit peran penting Muhammadiyah dalam proses pemberdayaan umat Islam dan pencerdasan bangsa. Sebuah organisasi sosial Islam yang terpenting di Indonesia sebelum Perang Dunia II dan mungkin juga sampai sekarang ini. Organisasi atau perkumpulan ini didirikan di Yogyakarta pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H oleh KH. Ahmad Dahlan (Hasbullah 2001, hlm. 94).
Dalam konteks ini Muhammadiyah tidak hanya berhasil mengantarkan bangsa Indoensia dan umat Islam dari kebodohan dan penindasan, tetapi juga menawarkan suatu model pembaharuan sistem pendidikan “modern” yang telah terjaga identitas dan kelangsungannya.
Menurut Hasbullah (2001, hlm. 96-97) Muhammadiyah bukan hanya semata bergerak di bidang pengajaran, tapi juga lapangan-lapangan lain, terutama menyangkut sosial ummat Islam. Sehubungan dengan itulah Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan mempunyai ciri-ciri khas sebagai berikut :
1. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam;
Muhammadiyah dalam melaksanakan dan memperjuangkan keyakinan dan cita-cita organisasinya berasaskan Islam. Munurut Muhammadiyah, bahwa dengan islam bisa dijamin kebahagiaan yang hakiki hidup di dunia dan akhirat, material dan spritual. Atas dasar pendirian tersebut maka Muhammadiyah berjuang mewujudkan Syari’at Islam dalam kehidupan perorangan keluarga dan masyarakat. Segala yang dilakukan oleh Muhammadiyah dalam bidang pendidikan, kemasyrakatan, kerumahtanggan, perekonomian dan sebagainya tak bisa dilepaskan dari usaha untuk melaksanakan ajaran Islam.
2. Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah;
Untuk mewujudkan keyakinan dan cita-cita Muhammadiyah yang berdasarkan islam, yaitu amar ma’ruf dan nahi munkar. Dakwah dilakukan menurut cara yang dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW. Dakwah Islam dilakukan dengan hikmah kebijaksanaan, nasihat, ajakan dan jika perlu dilakukan dengan berdialog.
3. Muhammadiyah sebagai Gerakan Tajdid
Usaha-usaha yang dirintis dan dilaksanakan menunjukkan bahwa Muhammadiyah selalu beruaha memperbaiki dan meningkatkan pemahaman Islam secara rasional, sehingga Islam lebih mudah diterima dan dihayati oleh segenap lapisan masyarakat.
Diskusi tentang pendidikan Muhammadiyah sebagai salah satu pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pemikiran para pendirinya. Salah satu tokoh pendidikan Muhammadiyah yang paling menonjol adalah KH. Ahmad Dahlan. Oleh karenanya penulis akan membahas “ Pendidikan Islam Modern Periode KH. Ahmad Dahlan”.
B. Pembahasan
1. Riwayat Hidup dan Pendidikan KH. Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan lahir di Kauman (Yogyakarta) pada tahun 1898 dan meninggal pada tanggal 25 Pebruari 1923. Ia berasal dari keluarga diktatis dan terkenal alim dalam ilmu agama. Ayahnya bernama KH. Abu Bakar, seorang imam dan khatib masjid besar Kraton Yogyakarta. Sementara ibunya bernama Siti Aminah, putri K.H. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di kraton Yogyakarta (Samsul Nizar 2002, hlm. 100). Melihat garis keturunananya ini maka ia adalah anak orang yang berada dan berkedudukan baik dalam masyarakat (A. Jainuri 1990, hlm. 24).
Semenjak kecil, Dahlan di asuh dan dididik sebagai putera kiyai. Pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca, menulis, mengaji al-Qur’an, dan kitab-kitab agama. Pendidikan ini diperoleh langsung dari ayahnya. Menjelang dewasa, ia mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama kepada beberapa ulama besar waktu itu. Dianataranya K.H. Muhammad Saleh (ilmu fiqih), K.H. Muhsin (ilmu nahwu), K.H.R. Dahlan (ilmu falak), K.H. Mahfudz dan Syekh Khayyat Sattokh (ilmu hadis), syekh Amin dan Sayyid Bakri (qira’at al-Qur’an) (Abdul Munir Mulkhan 1993, hlm. 63).
Setelah beberapa waktu belajar dengan sejumlah guru, pada tahun 1890 Dahlan berangkat ke Mekkah untuk melanjutkan studinya dan bermukim di sana selama setahun (Mahmud Yunus 1990, hlm. 267). Merasa tidak puas dengan hasil kunjungannya yang pertama, maka pada tahun 1903, ia berangkat lagi ke Mekah dan menetap selama dua tahun (Deliar Noer 1985, hlm. 85).
Pada usia yang masih muda, ia membuat heboh dengan membuat tanda shaf dalam masjid agung denan memakai kapur. Tanda shaf itu bertujuan untuk memberi arah kiblat yang benar dalam masjid. Menurut dia letak masjid yang tepat menghadap barat keliru, sebab letak kota Mekkah berada disebelah barat agak ke utara dari Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian yang sederhana Ahmad Dahlan berkesimpulan bahwa kiblat di masjid agung itu kurang benar, dan oleh karena itu harus dibetulkan. Penghulu kepala yang bertugas menjaga masjid Agung dengan cepat menyuruh orang membersihkan lantai masjid dan tanda shaf yang ditulis dengan benar. (Deliar Noer 1985, hlm, 85)
KH. Ahmad Dahlan memperdalam ilmu agamanya kepada para ulma’ timur tengah (Rohadi Abdul Fatah, dkk 2005, hlm.99). Beliau memperdalam ilmu fiqih kepada kiai Mahfudz Termas, ilmu hadits kepada Mufti Syafi’i, ilmu falaq kepada kiai Asy’ari Bacean. Beliau juga sempat mengadakan dialog dengan para ulama nusantara seperti kiai Nawawi Banten dan kiai Khatib dari Minangkabau yang dialog ini pada akhirnya banyak mengalami dan mendorongnya untuk melakukan reformasi di Indonesia adalah dialognya dengan syeikh Muhammad Rasyid Ridha, seorang tokoh modernis dari Mesir.
Ahmad Dahlan mulai berkenalan dengan dengan ide-ide pembaharusn yang dilakukan melalui penganalisaan kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam, seperti Ibn Taimiyah, Ibn Qoyyim al- Jauziyah, Muhammad bin Abd al- Wahab, Jamal al- Din al- Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan lain sebagainya (Samsul Nizar 2002, 101).
Selama ia berstudi di Mekkah tampaknya Tafsir al-Manar yang dikarang oleh Muhammad Abduh mendapat perhatian serius dan yang paling disenanginya. Tafsir ini memberikan cahaya terang dalam hatinya serta membuka akalnya untuk berpikir jauh ke depan tentang eksistensi Islam di Indonesia, yang pada waktu itu tertekan dari penjajah kolonial Belanda (Hasbullah 2001, hlm. 95).
Dengan kedalaman ilmu agama dan ketekunannya dalam mengikuti gagasan-gagasan pembaharuan Islam, KH. Ahmad Dahlan kemudian aktif menyebarkan gagasan pembaharuan Islam ke pelosok-pelosok tanah air sambil berdagang batik. KH. Ahmad Dahlan melakukan tabliah dan diskusi keagamaan sehingga atas desakan para muridnya pada tanggal 18 November 1912 KH. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah.
Disamping aktif di Muhammadiyah beliau juga aktif di partai politik. Seperti Budi Utomo dan Sarikat Islam. Hampir seluruh hidupnya digunakan utnuk beramal demi kemajuan umat Islam dan bangsa. KH. Ahmad Dalhlan meninggal pada tanggal 7 Rajab 1340 H atau 23 Pebruari 1923 M dan dimakamkan di Kauman Yogyakarta dalam usia 55 tahun (Solichin Salam tt, hlm. 146).
2. Pemikiran Pendidikan Islam KH. Ahmad Dahlan
Menurut KH. Ahmad Dahlan, upaya strategis untuk menyelamatkan umat Islam dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan (Ahmad Syafi’i, Ma’arif 1994, hlm. 221). Pendidikan hendaknya ditempatkan pada skala prioritas utama dalam proses pembangunan ummat. Mereka hendaknya didik agar cerdas, kritis, dan memiliki daya analisis yang tajam dalam memeta dinamika kehidupannya pada masa depan (Samsul Nizar 2002, hlm. 104).
Upaya mengaktualisasikan gagasan pemikiran pendidikan KH. Ahmad Dahlan ini meliputi :
1. Landasan pendidikan yang kokoh
Landasan ini merupakan kerangka filosofis bagi merumuskan konsep dan tujuan ideal pendidikan Islam, baik secara vertikal (Khaliq) maupun horizontal (makhluk) (Abdul Munir Mulkan 1993, hlm. 66).
Dalam pandangan Islam, paling tidak ada dua sisi tugas penciptaan manusia, yaitu sebagai abd’ Allah dan khalifah fil al-ardh. Hal ini didasarkan pada al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 30 :
•
Artinya : Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Depag RI 1989, hlm. 13)
Menurut Abdul Munir Mulkan (1993, hlm. 99), Dalam proses kejadiannya, manusia diberikan Allah dengan al-ruh dan al-aql. Untuk itu, pendidikan hendaknya menjadi media yang dapat mengembangkan potensi al-ruh untuk menalar petunjuk pelaksanaan ketundukan dan kepatuhan manusia kepada Khaliqnya.
Disini eksistensi akal merupakan potensi dasar bagi peserta didik yang perlu dipelihara dan dikembangkan guna menyusun kerangka teoritis dan metodologis bagaimana menata hubungan yang harmonis secara vertikal maupun horizontal dalam konteks tujuan penciptaannya.
Islam menakankan kepada umatnya untuk mendayagunakan semua kemampuan yang ada pada dirinya dalam rangka memahami fenomena alam semesta, baik alam mikro maupun makro. Meskipun dalam banyak tempat al-Qur’an senantiasa menekankan pentingnya menggunakan akal, akan tetapi al-Qur’an juga akan mengakui akan keterbatasan kemampuan akal. Ada realitas fenomena yang tidak dapat dijangkau oleh indera dan akal manusia. Hal ini disebabkan, karena wujud yang ada di alam ini memiliki dua dimensi, yaitu pisika dan metapisika. Manusia merupakan integrasi dari kedua dimensi tersebut, yaitu dimensi ruh dan jasad.
Hal ini didapat dilihat pada surat Ar-Rad ayat 2 :
Artinya :
”Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, Kemudian dia bersemayam di atas 'Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu”. ( Depag RI 1989, hlm. 368).
Batasan di atas memberikan arti, bahwa dalam epistemologi pendidikan Islam, ilmu pengetahuan dapat diperoleh apabila peseerta didik (manusia) mendayagunakan berbagai media, baik yang diperoleh melalui persepsi inderawi, akal, kalbu, wahyu maupun ilham. Oleh karena itu, aktivitas pendidikan dalam Islam hendaknya memberikan kemungkinan yang sebesar-besarnya bagi pengembangan kesemua dimensi tersebut.
Menurut Ahmad Dahlan, pengembangan merupakan proses integrasi ruh dan jasad. Konsep ini diketengahkannya dengan menggariskan perlunya pengkajian ilmu pengetahuan secara langsung, sesuai prinsip-prinsip al-Qur’an dan Sunnah, bukan semata-mata dari kitab tertentu ( Fahry Ali dan Bachtiar Effendy 1986, hlm. 76) .
Menurut Samsul Nizar ( 2002, hlm. 107), Dahlan mencoba menggugat praktek pendidikan Islam pada masanya. Pada waktu itu, pelaksanaan pendidikan hanya dipahami sebagai proses pewarisan adat dan sosialisasi perilaku dan individu maupun sosial yang telah menjadi model baku dalam masyarakat. Menurutnya pendidikan tidak memeberikan kebebasan peserta didik untuk berkreasi dan mengambil prakarsa. Kondisi yang demikian menyebabkan pelaksanaan pendidikan berjalan searah dan tidak bersifat dialogis. Padahal, menurut dahlan, pengembangan daya kritis, sikap dialogis, menghargai potensi akal dan hati yang suci, merupakan cara strategis bagi peserta didik mencapai pengetahuan tinggi (Abdul Munir Mulkhan 1993, hlm. 146).
Dari batasan ini terlihat jelas bahwa Ahmad Dahlan ingin meletakkan visi dasar bagi reformasi pendidikan Islam melalui penggabungan sistem pendidikan modern dan tradisional secara harmonis dan integral.
2. Tujuan Pendidikan Islam
Menurut KH. Ahmad Dahlan, pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya (Asmuni Abdurrahman 1990, hlm. 120) .
Tujuan pendidikan tersebut merupakan pembaharuan dari tujuan pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah model Belanda. Di satu sisi pendidikan pesantren hanya bertujuan utnuk menciptakan individu yang salih dan mengalami ilmu agama. Sebaliknya, pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan sekuler yang didalamnya tidak diajarkan agama sama sekali. Akibat dualisme pendidikan tersebut lahirlah dua kutub intelegensia : lulusan pesantren yang menguasai agama tetapi tidak menguasai ilmu umum, dan sekolah Belanda yang menguasai ilmu umum tetapi tidak menguasai ilmu agama.
Melihat ketimpangan tersebut KH. Ahamd Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu yang utuh menguasai ilmu agama dan ilmu umum, material dan spritual serta dunia dan akhirat. Bagi KH. Ahmad Dahlan kedua hal tersebut (agama-umum, material-spritual dan dunia-akhirat) merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Inilah yang menjadi alasan mengapa KH. Ahmad Dahlan mengajarkan pelajaran agama dan ilmu umum sekaligus di Madrasah Muhammadiyah.
3. Materi pendidikan
Berangkat dari tujuan pendidikan tersebut KH. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa kurikulum atau materi pendidikan hendaknya meliputi:
a) Pendidikan moral, akhlaq yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik berdasarkan Al-Qur’an dan Al- Hadis.
Materi al-Qur’an dan Hadis meliputi : ibadah, persamaan derajat, fungsi perbuatan manusia dalam menentukan nasibnya, musyawarah, pembuktian kebenaran al-Qur’an dan hadis menurut akal, kerjasama antara agama – kebudayaan kemajuan peradaban, hukum kausalitas perubahan, nafsu dan kehendak, demokrasi dan liberalisasi, kemerdekaan berpikir, dinamika kehidupan dan pearanan manusia di dalamnya, dan akhlak ( budi pekerti)( Abdul Munir Mulkhan 1993, hlm.147).
Bepijak pada pandangan di atas sesungguhnya, Ahmad Dahlan mnginginkan pengelolaan pendidikan Islam secara modern dan profesional, sehingga pendidikan yang dilaksanakan mampu memenuhi kebutuhan peserta didik menghadapi dinamika zamannya. Untuk itu pendidikan Islam perlu membuka diri, inovatif, dan agresif.
b) Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh yang berkesinambungan antara perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan dan intelek serta antara dunia dengan akhirat.
c) Pendidikan kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.
d) Model Mengajar
Di dalam menyampaikan pelajaran agama KH. Ahmad Dahlan tidak menggunakan pendekatan yang tekstual tetapi kontekstual. Karena pelajaran agama tidak cukup hanya dihafalkan atau dipahami secara kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan kondisi.
C. Penutup
Muhammadiyah sebuah organisasi sosial Islam yang terpenting di Indonesia sebelum Perang Dunia II dan mungkin juga sampai sekarang ini. Muhammadiyah bukan hanya semata bergerak di bidang pengajaran, tapi juga lapangan-lapangan lain, terutama menyangkut sosial ummat Islam.
Ahmad Dahlan lahir di Kauman (Yogyakarta) pada tahun 1898 dan meninggal pada tanggal 25 Pebruari 1923. Pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca, menulis, mengaji al-Qur’an, dan kitab-kitab agama. Pendidikan ini diperoleh langsung dari ayahnya. Menjelang dewasa, ia mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama kepada beberapa ulama besar waktu itu. Dianataranya K.H. Muhammad Saleh (ilmu fiqih), K.H. Muhsin (ilmu nahwu), K.H.R. Dahlan (ilmu falak), K.H. Mahfudz dan Syekh Khayyat Sattokh (ilmu hadis), syekh Amin dan Sayyid Bakri (qira’at al-Qur’an).
Gagasan pemikiran pendidikan KH. Ahmad Dahlan ini meliputi : Landasan pendidikan yang kokoh dan tujuan Pendidikan Islam yang diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Materi pendidikan hendaknya meliputi: Pendidikan moral, akhlaq yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik berdasarkan Al-Qur’an dan Al- Hadis, pendidikan individu, pendidikan kemasyarakatan dan model mengajar.
Demikian makalah yabg sederhana ini dapat penulis sajikan, muda-mudahan akan menambah khasanah ilmu pengetahuan bagi kita semua khusunya bagi penulis pribadi. Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis harapkan kritik dan saran dari teman-teman yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Wassalam.
REFERENSI
A. Jainuri, Muhammadiyah Gerakan Reformasi Islam di Jawa pada awal Abad ke-20, Surabaya : Bina Ilmu, 1990.
Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelek Muslim, Yogyakarta : Sippress, 1993.
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Bandung : Mizan, 1994.
Asmuni Abdurrahman, Muhammadiyah : Pemikiran dan Amal Usaha, Malang : Pusat Dekomentasi dan Publikasi Univ. Muhammadiyah, 1990.
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1985.
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang : CV. Toha Putra, 1989.
Fahry Ali dan Bachtiar Effendy, Merambah jalan Baru Islam : Rekonstruksi Pemikiran Indonesia Masa Orde Baru, Bandung, : Mizan, 1986.
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001.
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Hidakarya Agung, 1990.
Rohadi Abdul Fatah, dkk, Rekonstruksi Pesantren Masa Depan: Dari Tradisional, Modern, Hingga Post Modern, Jakarta : Listafariska Putra, 2005.
Samsul Nizar, MA, Filsafat Pendidikan Islam : Pendidikan Historis, Teoritis, Jakarta : Ciputat Pers, 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar