IMPLEMENTASI SISTEM PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA DAN MESIR (Deskripsi dan Perbandingan)
Oleh: Dadang, S. Ag, S. IPI, M. Pd.I
A. PENDAHULUAN
Pendidikan Islam di Indonesia merupakan warisan peradaban Islam dan sekaligus aset bagi pembangunan pendidikan nasional. Sebagai warisan, ia merupakan amanat sejarah untuk dipelihara dan dikembangkan oleh ummat Islam dari masa ke masa. Sedangkan sebagai aset, pendidikan Islam yang tersebar di berbagai wilayah ini membuka kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk menata dan mengelolanya, sesuai dengan sistem pendidikan nasional (Rahim 2001, hlm. 3). Dalam kedua perspektif di atas, pendidikan Islam di Indonesia selalu menjadi lahan pengabdian kaum muslimin dan sekaligus menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional.
Pendidikan Islam di Indonesia secara garis besar terbagi ke dalam dua tingkatan; makro dan mikro. Pada level yang pertama, pendidikan Islam bersentuhan dengan sistem pendidikan nasional dan faktor-faktor eksternal lain. Sedangkan pada level yang kedua, pendidikan Islam dihadapkan pada tuntutan atau proses pendidikan yang efektif sehingga menghasilkan lulusan yang berkualitas dan berdaya saing tinggi. Berbagai persoalan dari kedua level di atas pada prinsipnya mendorong adanya perubahan arah pendidikan Islam mengingat tantangan kontemporer dan tantangan masa depan yang berbeda dengan tantangan masa lalu.
Dalam uraian berikut akan akan dikemukakan pengertian pendidikan Islam serta sistem pendidikan Islam di Indonesia.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Pendidikan Islam
Sebelum mengetahui makna pendidikan Islam, terlebih dahulu dikemukakan arti pendidikan pada umumnya. Istilah pendidikan berasal dari kata didik dengan memberinya awalan "pe" dan akhiran "kan" mengandung arti perbuatan (hal, cara dan sebagainya). Istilah pendidikan ini semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu paedagogie, yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan education yang berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab istilah ini sering diterjemahkan dengan tarbiyah, yang berarti pendidikan (Ramayulis 2004, hlm. 1).
Marimba (1981, hlm. 19) mengatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan yang dilakukan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.
Ketika kata Islam dimasukkan dalam pendidikan ia memiliki makna pendidikan tertentu, yaitu pendidikan yang didasarkan kepada ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Kata Islam berasal dari bahasa Arab ; aslama, yuslimu, islaman, yang berarti berserah diri, patuh dan tunduk (Hamzah dan Aziz 2004, hlm. 82).
Menurut Zuhairini (1992, hlm. 152), pendidikan Islam adalah usaha yang diarahkan kepada pembentukan kepribadian anak yang sesuai dengan ajaran Islam atau suatu upaya dengan ajaran Islam, memikirkan, memutuskan dan berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam serta bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam. Zakiah Daradjat (1996, hlm. 28), mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan individual dan masyarakat, karena di dalam ajaran Islam berisi tentang sikap dan tingkah laku pribadi masyarakat, menuju kesejahteraan hidup perorangan dan bersama serta lebih banyak menekankan kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan sendiri maupun orang lain.
Sedangkan menurut M. Yusuf Qardhawi sebagaimana dikutip Azra (2000, hlm. 5), pengertian pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya; akal dan hatinya; rohani dan jasmaninya; akhlak dan keterampilannya. Karena itu, pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkannya untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis, dan pahitnya.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat dipahami bahwa pendidikan Islam adalah sebuah upaya terencana dalam membentuk kepribadian manusia muslim untuk mengubah tingkah lakunya ke arah yang lebih baik atas dasar nilai-nilai ajaran Islam (al-Qur’an dan al- Hadits).
2. Sistem Pendidikan Islam di Indonesia
Sistem pendidikan Islam di Indonesia sudah berkembang sejak abad-abad pertama Islam datang ke Indonesia. Sebagaimana di negara-negara lain, perkembangan pendidikan Islam sangat dipengaruhi oleh aliran-aliran atau paham keislaman serta perkembangan yang disebabkan oleh keadaan setempat. Sejak perkembangannya sistem pendidikan Barat yang berlandaskan filsafat Pragmatisme, banyak sistem pendidikan lama, baik dalam perumusan tujuan, program, struktur, jenjang, metode, dan evaluasi pendidikannya disesuaikan dengan sistem pendidikan Barat ini sampai batas tetentu termasuk lembaga-lembaga pendidikan Islam (Feisal 1995, hlm.112).
Lebih lanjut Feisal (1995, hlm. 112) mengatakan, penyesuaian sistem pendidikan Islam ke dalam sistem pendidikan Barat melalui pendekatan hipotesis defisit ternyata bukan hanya karena pendidikan Islam tidak lagi berorientasi pada tujuan Islam untuk mencapai taraf manusia bertakwa, melainkan juga tidak mencapai tujuan pendidikan Barat yang bersifat mondial dan sekuler.
Sistem pendidikan Islam kebanyakannya masih lebih cenderung mengorientasikan diri pada bidang-bidang humaniora dan ilmu-ilmu sosial ketimbang ilmu-ilmu eksakta semacam fisika, kimia, biologi dan matematika modern. Padahal keempat ilmu ini mutlak diperlukan dan pengembangan teknologi canggih. Ilmu-ilmu eksakta ini belum mendapat apresiasi dan tempat yang sepatutnya dalam sistem pendidikan Islam ( Azra 2000, hlm. 59).
Pembahasan seputar sitem pendidikan Islam di Indonesia supaya lebih spesifik akan dibatasi pada sistem pendidikan jenjang Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), dan Perguruan Tinggi (IAIN). Pembahasan ini akan dilakukan tentu secara makro saja, namun tidak menghilangkan maksud dan tujuan dari tema makalah ini.
Untuk melihat lebih lanjut sistem pendidikan Islam Indonesia, maka tidak terlepas dari beberapa komponen yang menyertainya, komponen tersebut yaitu: Tujuan pendidikan (orientasi), kurikulum, metode, serta evaluasi.
a). Tujuan Pendidikan (Orientasi)
Menurut Mastuhu (1999, hlm. 31), Orientasi sistem pendidikan Islam Indonesia telah mengalami perubahan perkembangan terus-menerus. Pada awalnya orientasi pendidikan Islam lebih banyak berkonsentrasi pada urusan ukhrawiyah, nyaris lepas dari urusan dunyawiyah. Satu-satunya urusan muamalat yang paling banyak dibicarakan adalah hukum waris. Karena orientasinya demikian, warna sistem pendidikan Islam Indonesia sangat didominasi oleh warna-warna fikih, tasawuf, ritual, sakral dan sebagainya. Orientasinya ke masa lampau dan terpaku ke “dunia sana.” Sedangkan ”dunia kini” sebagai ”dunia mainan” dan tempat menumpang minum. Orientasi demikian terutama disebabkan oleh sumber teologi yang fatalistis dan tidak rasional.
Kini keadaan orientasi sistem pendidikan Islam di Indonesia tampak berubah, orientasinya telah berkembang, di mana urusan dunyawiyah memperoleh porsi seimbang dengan urusan ukhrawiyah. Iptek, pemikiran, keterbukaan, dan antisipasi ke depan semakin menguat. Hal ini karena disebabkan oleh semakin berkembangnya pandangan teologi yang vitalistis dan rasional. Meskipun demikian, masih terasa adanya dua orientasi yang berjalan secara beriringan: antara orientasi sistem pendidikan Islam (Madrasah) dengan sistem pendidikan nasional (sekolah umum) belum terdapat integritas yang tuntas.
Secara filosofi dan akdemis masih terasa adanya ganjalan dikotomi antara ilmu agama dan umum. Agama hanya dikaitkan dengan rohani, misalnya, sering terdengar sebutan bahwa tokoh agama sering disebut dengan “rohaniawan” dan dipisahkan secara tajam dengan ”ilmuwan atau “ teknolog”.
Iptek dijadikan senjata atau alat oleh manusia untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia untuk kepentingan manusia sendiri. Semakin canggih alat yang dipergunakan, manusia semakin tergantung padanya. Padahal penggunaan Iptek seharusnya dipandu oleh iman dan taqwa kepada Allah(Amsyari 1992, hlm. 99).
b). Kurikulum
Kurikulum merupakan salah satu variabel input yang sangat berpengaruh terhadap hasil pendidikan, karena kurikulum laksana skenario bagi suatu pagelaran. Tetapi yang perlu diingat ada faktor dalam kurikulum disebut dengan hidden curriculum, yaitu berbagai faktor diluar batang tubuh kurikulum, yang secara tidak terkendali bisa mempengaruhi hasil belajar atau hasil pendidikan pada suatu lembaga pendidikan (Su’ud 2003).
Secara harfiah kurikulum berasal dari bahasa latin “curriculum” yang berarti “a little race course” yaitu suatu jarak yang harus ditempuh dalam pertandingan olahraga yang kemudian dialihkan ke dalam pengertian pendidikan menjadi “circle of instruction” yaitu suatu lingkaran pengajaran di mana guru dan murid terlibat di dalamnya( Arifin 1994, hlm. 85).
Dalam perkembangan selanjutnya kurikulum menjadi istilah yang digunakan untuk menunjukkan pada sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai suatu gelar ijazah (Abudin Nata 1997, hlm. 123). Selain itu, kurikulum juga diartikan sebagai rencana pelajaran terurai bagi tiap bidang studi untuk tiap kelas (Sastrapraja 1978, hlm. 478).
Dalam menyusun kurikulum pendidikan Islam menurut Mohammad al- Toumy al- Syaibani (1979, hlm. 523-532), ada empat dasar yang harus diperhatikan yaitu:
1. Dasar Agama (asas relegius)
Dalam menyusun kurikulum pendidikan Islam, hendaknya selalu berpedoman pada al-Qur’an dan Hadis, serta pada sumber-sumber furu’ seperti ijma’ qiyas, maslahah mursalah, dan istihsan.
2. Dasar Falsafat (asas filosofis)
Dasar filosofis kurikulum pendidikan Islam tidak terlepas dari wahyu Tuhan dan bimbingan Nabi, serta peninggalan-peninggalan pemikiran Islam yang benar sepanjang zaman dan waktu.
Adapun dasar filosofis kurikulum pendidikan Islam adalah sebagai berikut:
a. Falsafah idealisme, hendaknya orang yang membuat kurikulum dan rencana pendidikan, agar mewarnai tujuan-tujuan dan kandungannya dengan nuansa agama dan akhlak.
b. Falsafah realisme natural; kurikulum mestinya menaruh perhatian pada kajian terhadap gejala alam yang ada, serta menaruh perhatian pada kebutuhan pekerjaan masyarakat.
c. Falsafah humanisme intelektual; menekankan segi-segi akal dan pendidikan akal dalam kurikulum, dan menyusun pelajaran dengan cara yang logis dan bersifat deskriptif, serta memelihara perbedaan-perbedaan individual peserta didik menaruh perhatian pada ilmu-ilmu kemanusiaan.
d. Falsafah realisme klasik; kurikulum hendaknya memberi perhatian terhadap pemeliharaan akal dan menyuapinya dengn pengetahuan dan fakta-fakta dan memberinya peluang untuk tumbuh sejauh mungkin dapat dicapainya.
e. Falsafah naturalisme romantik; memberontak (tidak menerima) kebekuan-kebekuan yang ada pada kurikulum
f. Falsafah pragmatisme; membuat kurikulum bermanfaat bagi pelajar-pelajar dan membantu menyelesaikan masalah mereka dan masyarakatnya, serta harus menghargai bakat-bakat, kecakapan, kebutuhan, dan minat peserta didik.
3. Dasar Psikologis
Asas ini berkaitan dengan ciri-ciri perkembangan pelajar, tahap kematangan bakat-bakat jasmani, intelektual, bahasa, emosi, dan sosial, kebutuhan-kebutuhan, minat, kecakapan, perbedaan individual, dan juga meliputi faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan , proses belajar, serta pengamatan terhadap sesuatu, dan sebagainya.
4. Dasar Sosial ( asas sosiologis)
Kurikulum harus turut serta dalam proses pemasyarakatan (socialication) bagi para pelajar, yang meliputi penyesuaian diri mereka dengan masyarakat tempat mereka hidup, menumbuhkan sikap kerjasama dan menghargai tanggung jawab sosial.
Adapun kurikulum yang ada pada lembaga pendidikan Islam di Indonesia saat ini mengacu pada kurikulum yang dikeluarkan oleh Diknas dengan model KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan).
KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan, sedangkan pemerintah pusat hanya memberi rambu-rambu yang perlu dirujuk dalam kurikulum (Muhaimin, at. al, 2008, hlm. 2).
Menurut Mulyasa (2006, hlm. 20-21) bahwa KTSP adalah suatu ide tentang pengembangan kurikulum yang diletakan pada posisi yang paling dekat dengan pembelajaran yakni sekolah dan satuan pendidikan. KTSP merupakan paradigma baru pengembangan kurikulum, yang memberikan otonomi luas pada setiap satuan pendidikan, dan pelibatan masyarakat dalam rangka mengefektifkan proses belajar mengajar di sekolah. Otonomi diberikan agar setiap satuan pendidikan dan sekolah memiliki keleluasaan dalam mengelola sumber daya, sumber dana, sumber belajar dan mengalokasikannya sesuai prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat.
KTSP merupakan bentuk operasional pengembangan kurikulum dalam konteks desentralisasi pendidikan dan otonomi daerah, yang akan memberikan wawasan terhadap sistem yang sedang berjalan selama ini. Tujuan KTSP bisa diwujudkan antara lain bagaimana sekolah dan satuan pendidikan dapat mengoptimalisasikan kinerja, proses pembelajaran, pengelolaan sumber belajar, media, strategi belajar, profesionalisme tenaga kependidikan, serta sistem penilaian.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) secara umum diterapkan dengan tujuan untuk memandirikan dan memberdayakan satuan pendidikan melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada lembaga pendidikan dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif dalam pengembangan kurikulum (http://www.dhanay.co.cc/2009/11/ktsp-kurikulum-tingkat-satuan.html 2 Nopember 2010).
Menurut Baedhowi (2007, hlm. 7-8) bahwa tujuan KTSP adalah untuk mewujudkan kurikulum yang sesuai dengan kekhasan (karakteristik), kondisi, potensi daerah, kebutuhan dan permasalahan daerah, satuan pendidikan dan peserta didik dengan mengacu pada tujuan pendidikan nasional.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan KTSP memiliki beberapa karakteristik yaitu : pemberian otonomi luas kepada sekolah dan satuan pendidikan, partisipasi masyarakat dan orang tua yang tinggi, kepemimpinan yang demokratis dan profesional, serta tim kerja yang kompak dan transparan. Dengan tujuan memandirikan dan memberdayakan satuan pendidikan melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada lembaga pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengembangkan kurikulum, mengelola dan memberdayakan sumberdaya yang tersedia, lebih meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam pengembangan kurikulum melalui pengambilan keputusan bersama, untuk meningkatkan kompetisi yang sehat antar satuan pendidikan.
Mengenai kurikulum yang dipakai pada lembaga pendidikan Islam sekarang dari jenjang MI, MTs, MA, sampai ke jenjang perguruan tinggi seragam menggunakan model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
c). Metode Pengajaran
Ditinjau dari segi kebahasaan, kata metode berasal dari kaya Yunani ”methodos”, yang terdiri dari kata ”meta” yang berarti ”melalui” dan ”hodos” yang berarti ”jalan”. Jadi, metode berarti jalan yang dilalui (M. Arifin 1994, hlm. 97). Secara umum, metode berarti cara yang telah diatur dan terpikir baik-baik untuk mencapai sesuatu maksud(Poerwadarminta 1976, hlm. 649). Bila dihubungkan dengan pendidikan, maka metode pendidikan mencapai tujuan pendidikan.
Adapun metode yang dapat digunakan dalam pengajaran/pendidikan Islam antara lain adalah metode teladan, metode cerita atau kisah, metode nasihat, metode pembiasaan, metode hukuman dan ganjaran, metode ceramah, metode diskusi dan sebagainya (Abudin Nata 1997, hlm. 95-107).
Menurut al-Syaibany (1979, hlm. 583-584), ada beberapa hal yang menjadi ciri utama metode pengajaran dalam pendidikan Islam, yaitu sebagai berikut:
1. Berpadunya metode (baik dari segi tujuan dan alat), dengan jiwa ajaran dan akhlak Islam yang mulia.
2. Metode tersebut bersifat luwes, disesuaikan dengan keadaan dan perbedaan sifat individual siswa
3. Metode tersebut berusaha mengaitkan antara teori dan praktek, hapalan dan pemahaman, serta memelihara aktivitas dan kemampuan berfikir siswa dalam memperoleh ilmu dan keterampilan
4. Memberi kebebasan kepada murid untuk berdiskusi, berdebat, dan berdialog, dalam batas-batas kesopanan dan saling menghormati
5. Mengangkat derajat guru dan meletakkannya dalam tingkat pimpinan dan teladan dalam bidang pikiran dan spritual.
Adapun penerapan metode pengajaran/pendidikan Islam di Indonesia sangat variatif, metode mengajar yang guru gunakan dalam setiap kali pertemuan kelas bukanlah asal pakai, tetapi setelah melalui seleksi yang berkesenian dengan perumusan tujuan instruksional khusus. Jarang sekali terlihat guru merumuskan tujuan hanya dengan satu tujuan, tetapi pasti guru merumuskan lebih dari satu tujuan. Karenanya, guru selalu menggunakan metode yang lebih dari satu.
Beberapa metode pengajaran yang sering dipakai oleh guru ketika mengajar yaitu: Metode ceramah, tanya jawab, diskusi,demonstrasi, pemberian tugas, bekerja dalam kelompok, latihan. Penggunaan metode pengajaranan ini harus disesuaikan dengan kondisi peserta didik. Dengan menerapkan metode yang bervariasi ini diharapkan titik sentral yang harus di capai oleh setiap kegiatan belajar mengajar adalah tercapainya tujuan pengajaran. Apa pun yang termasuk perangkat program pengajaran di tuntut secara mutlak untuk menunjang tercapainya tujuan. Guru tidak di benarkan mengajar dengan kemalasan. Anak didik pun di wajibkan mempunyai kretifitas yang tinggi dalam belajar, bukan selalu menanti perintah guru. Kedua unsur manusiawi ini juga beraktifitas tidak lain karena ingin mencapai tujuan secara efektif dan efisien.
Penggunaan metode yang tidak sesuai dengan tujuan pengajaran akan menjadi kendala dalam mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Cukup banyak bahan pelajaran yang terbuang dengan percuma hanya karena penggunaan metode menurut kehendak guru dan mengabaikan kebutuhan siswa, fasilitas, serta situasi kelas. Guru yang selalu senang menggunakan metode ceramah sementara tujuan pengajarannya adalah agar anak didik dapat memperagakan shalat, adalah kegiatan belajar mengajar yang kurang kondusif, seharusnya penggunaan metode dapat menunjang pencapaian tujuan pengajaran, bukannya tujuan yang harus menyesuaikan diri dengan metode.
Penggunaan metode ini harus disesuaikan dengan jenjang pendidikan, jika MI lebih cocok menggunakan metode teladan, metode cerita atau kisah, metode nasihat, metode demonstrasi, metode pembiasaan, metode hukuman dan ganjaran, metode ceramah. Sedangkan pada jenjang MTs dan MA lebih cocok menggunakan metode ceramah, metode diskusi, tanya jawab, pemberian tugas, bekerja dalam kelompok, dan metode latihan. Bagi perguruan tinggi lebih cocok menggunakan metode ceramah, diskusi, serta metode tanya jawab.
d). Evaluasi
Secara etimologis, evaluasi berasal dari kata latin ”evaluatio” yang berarti penilaian, penaksiran, atau pengiraan kurs ( Osman Rabily 1982, hlm. 196). Dalam bahasa Inggris, evaluasi dikenal dengan istilah ”evaluation”, yang memiliki arti dasar; penilaian, atau penaksiran (Hassan Shadily dan John Echols 1997, hlm. 220).
Menurut Suharsimi Arikunto (1993, hlm. 1), evaluation atau evaluasi berarti tindakan atau proses untuk menentukan nilai sesuatu. Dalam bidang pendidikan, evaluasi diartikan sebagai tindakan atau proses untuk menentukan nilai segala sesuatu yang ada hubungannya dengan pendidikan.
Dalam bahasa Arab evaluasi dikenal dengan istilah ”imtihan” berarti ujian, dan dikenal juga dengan istilah ”khataman” sebagai cara untuk menilai hasil akhir dari proses pendidikan (M. Arifin 1992, hlm. 17). Menurut istilah evaluasi berarti proses membandingkan situasi yang ada dengan kreteria tertentu karena evaluasi adalah proses mendapatkan informasi dan menggunakannya untuk menyusun penilaian dalam rangka membuat keputusan (A. Tabrani Ruslan 1992, hlm. 17).
Tujuan evaluasi pendidikan menurut Sumadi Suryabrata (1983, hlm. 34-48) dapat dikelompokkan dalam tiga klasifikasi, yaitu:
1. Klasifikasi berdasarkan fungsinya; evaluasi bertujuan untuk memenuhi kebutuhan:
a). Psikologis ; evaluasi dipakai sebagai kerangka acuan kemana ia harus bergerak menuju tujuan pendidikan
b). Didaktik/instruksional; evaluasi bertujuan memotivasi peserta didik, memberikan pertimbangan dalam penentuan bahan pengajaran dan metode mengajar, serta dalam rangka mengadakan bimbingan-bimbingan secara khusus kepada peserta didik.
c). Administratif/ manajerial; bertujuan untuk pengisian buku rapor, menentukan indeks prestasi, pengisian STTB, dan mengenai ketentuan kenaikan siswa.
2. Klasifikasi berdasarkan keputusan pendidikan
Tujuan evaluasi dapat digunakan untuk mengambil keputusan individual, institusional, didaktik instruksional, dan keputusan-keputusan penelitian.
3. Klasifikasi formatif dan sumatif
a). Evaluasi formatif diperlukan untuk mendapatkan umpan balik guna untuk menyempurnakan perbaikan proses belajar mengajar
b). Evaluasi sumatif berfungsi untuk mengukur keberhasilan seluruh program pendidikan yang dilaksanakan pada akhir pelaksanaan proses belajar mengajar (akhir semester/tahun).
Sementara itu, Mochtar Buchori (1980, hlm. 6) mengemukakan bahwa tujuan khusus evaluasi pendidikan ada dua, yaitu:
1. Untuk mengetahui kemajuan belajar peserta didik setelah ia menyadari pendidikan selama jangka waktu tertentu, dan
2. Untuk mengetahui tingkat efisiensi metode-metode pendidikan yang digunakan selama jangka waktu tertentu.
Jadi tujuan evaluai dalam pendidikan Islam adalah untuk mengetahui sampai sejauh mana keberhasilan sebuah poses belajar mengajar dan untuk memperbaiki kekurangan yang ada supaya hasil selanjutnya menjadi lebih baik. Secara teknis pelaksanaan evaluasi pendidikan Islam di Indonesia melalui Ujian Nasional (UN) bagi jenjang MI, MTs, dan MA. Sedangkan bagi perguruan tinggi dilakukan ujian semesteran dan ujian terakhir yang dikenal dengan munaqosah.
3. Sistem Pendidikan Islam di Mesir
Membicarakan sistem pendidikan Islam di Mesir, ada beberapa hal yang perlu dibahas, yaitu: Tujuan pendidikan (orientasi), kurikulum, metode, serta evaluasi.
Dalam beberapa hal, pendidikan di negara Mesir dan Indonesia memiliki persamaan dan perbedaan. Sebagai misal, sistem pendidikan umum dikembangkan mulai dari tingkat taman kanak-kanak (usia 4-5 tahun), sekolah dasar (6-11 tahun), sekolah persiapan setingkat SMP (12-14 tahun), sekolah lanjutan setingkat SMA (usia 15-17 tahun), dan perguruan tinggi. Pada tingkat pendidikan dasar, negara Mesir juga memberlakukan wajib belajar 9 tahun dan bahkan di beberapa sekolah yang dikelola pemerintah bebas biaya pendidikan (http://www.balitbang.depdiknas.go.id. 4 Nopember 2010).
a). Tujuan pendidikan (orientasi)
Tujuan pendidikan (orientasi) pendidikan Islam di Mesir yaitu pemaduan antara kedua sistem dan pola pendidikan Islam, yaitu memadukan antara kedua sistem tersebut dengan jalan memasukkan kurikulum ilmu pengetahuan modern ke dalam sistem pendidikan tradisional, dan memasukkan pendidikan agama ke dalam kurikulum sekolah-sekolah modern(Zuhairini dkk 2006, hlm. 125). Dengan demikian diharapkan sistem pendidikan tradisional akan berkembang secara berangsur-angsur mengarah ke sistem pendidikan modern.
b). Kurikulum
Kurikulum pendidikan dikembangkan dengan menggunakan standar pendidikan nasional berdasarkan kebutuhan pengembangan pendidikan di Mesir. Standar nasional itu berlaku untuk semua jenis dan jenjang pendidikan(http://www.balitbang.depdiknas. 6 Nopember 2010). Kurikulum yang diterapkan di Mesir tidak jauh berbeda dengan yang diterapkan di Indonesia, bahkan Mesir mau menjadikan kurikulum Indonesia menjadi percontohan, hal ini dapat dilihat dari berita yang dilansir Tempo Selasa, 03 November 2009. Namun kurikulum yang dipakai di perguruan tinggi (al- Azhar khususnya), yaitu pemaduan antara ilmu agama (fiqih dan al-Qur’an) dan ilmu umum (kodokteran, ilmu sejarah, ilmu hitung, logika)(Abudin Nata 2010, hlm. 96).
c). Metode
Metode yang digunakan pada proses pembelajaran di Mesir pada mulanya menggunakan metode halaqoh; di mana seorang pelajar bebas memilih guru dan pindah sesuai dengan kemauan. Namun sekarang metode yang dikembangkan tidak jauh berbeda dengan metode yang dikembangkan pada lembaga pendidikan Islam Indonesia, yaitu metode diskusi sebagai metode dalam proses pembelajaran antar pelajar, seorang guru hanya berperan sebagai fasilitator dan memberikan penajaman dari materi yang didiskusikan (Abudin Nata 2010, hlm. 96).
d). Evaluasi
Pengembangan evaluasi dilakukan secara serempak pada semua jenjang pendidikan dan mata pelajaran yang menjadi fokus pengembangan mencakup semua mata pelajaran. Sampai saat ini mata pelajaran yang dilakukan evaluasi meliputi: mata pelajaran agama dan bahasa Arab, bahasa asing, sains, matematika, ilmu sosial, seni, dan pendidikan teknik atau kejuruan.
Menurut Azra (2000, hlm. 246), ada perbedaan pada jenjang perguruan tinggi pada sistem evaluasi antara perguruan tinggi di Indonesia dan Mesir. Sistem evaluasi perguruan tinggi di Mesir, untuk tingkat S1 (al-Azhar) misalnya masih berpegang kuat dengan sistem naik tingkat. Akibatnya, tidak jarang program satu tingkat diselesaikan dalam beberapa tahun atau lebih fatal lagi.
4. Perbandingan Sistem Pendidikan Indonesia dan Mesir
Memperhatikan sistem pendidikan Islam antara Indonesia dan Mesir dalam beberapa hal, pendidikan di negara Mesir dan Indonesia memiliki persamaan dan perbedaan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa komponen yang meliputi: Orientasi Pendidikan, kurikulum, metode, dan evaluasi.
• Sistem pendidikan Islam di Indonesia jika dilihat dari orientasi pendidikannya (dari MI sampai Perguruan Tinggi) pada awalnya lebih banyak berkonsentrasi pada urusan ukhrawiyah, nyaris lepas dari urusan dunyawiyah. Kini, keadaan orientasi sistem pendidikan Islam di Indonesia tampak berubah, orientasinya telah berkembang, di mana urusan dunyawiyah memperoleh porsi seimbang dengan urusan ukhrawiyah. Iptek, pemikiran, keterbukaan, dan antisipasi ke depan semakin menguat.
Sedangkan orientasi pendidikan Islam di mesir yaitu pemaduan antara kedua sistem dan pola pendidikan Islam, yaitu memadukan antara kedua sistem tersebut dengan jalan memasukkan kurikulum ilmu pengetahuan modern ke dalam sistem pendidikan tradisional, dan memasukkan pendidikan agama ke dalam kurikulum sekolah-sekolah modern.
• Adapun kurikulum yang ada pada lembaga pendidikan Islam di Indonesia saat ini (MI sampai Perguruan Tinggi) mengacu pada kurikulum yang dikeluarkan oleh Diknas dengan model KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan, sedangkan pemerintah pusat hanya memberi rambu-rambu yang perlu dirujuk dalam kurikulum.
Sedangkan kurikulum pendidikan di Mesir dikembangkan dengan menggunakan standar pendidikan nasional berdasarkan kebutuhan pengembangan pendidikan di Mesir. Standar nasional itu berlaku untuk semua jenis dan jenjang pendidikan. Kurikulum yang diterapkan di Mesir tidak jauh berbeda dengan yang diterapkan di Indonesia, bahkan Mesir mau menjadikan kurikulum Indonesia menjadi percontohan. Namun kurikulum yang dipakai di perguruan tinggi (al- Azhar khususnya), yaitu pemaduan antara ilmu agama (fiqih dan al-Qur’an) dan ilmu umum (kodokteran, ilmu sejarah, ilmu hitung).
• Metode pengajaran/pendidikan Islam di Indonesia sangat variatif, metode mengajar yang guru gunakan dalam setiap kali pertemuan kelas bukanlah asal pakai, tetapi setelah melalui seleksi yang berkesenian dengan perumusan tujuan instruksional khusus. Jarang sekali terlihat guru merumuskan tujuan hanya dengan satu tujuan, tetapi pasti guru merumuskan lebih dari satu tujuan. Karenanya, guru selalu menggunakan metode yang lebih dari satu. Beberapa metode pengajaran yang sering dipakai oleh guru ketika mengajar yaitu: Metode ceramah, tanya jawab, diskusi,demonstrasi, pemberian tugas, bekerja dalam kelompok, latihan. Penggunaan metode ini harus disesuaikan dengan jenjang pendidikan, jika MI lebih cocok menggunakan metode teladan, metode cerita atau kisah, metode nasihat, metode demonstrasi, metode pembiasaan, metode hukuman dan ganjaran, metode ceramah. Sedangkan pada jenjang MTs dan MA lebih cocok menggunakan metode ceramah, metode diskusi, tanya jawab, pemberian tugas, bekerja dalam kelompok, dan metode latihan. Bagi perguruan tinggi lebih cocok menggunakan metode ceramah, diskusi, serta metode tanya jawab.
Sedangkan metode yang digunakan pada proses pembelajaran di Mesir pada mulanya menggunakan metode halaqoh; di mana seorang pelajar bebas memilih guru dan pindah sesuai dengan kemauan. Namun sekarang metode yang dikembangkan tidak jauh berbeda dengan metode yang dikembangkan pada lembaga pendidikan Islam Indonesia, yaitu metode diskusi sebagai metode dalam proses pembelajaran antar pelajar, seorang guru hanya berperan sebagai fasilitator dan memberikan penajaman dari materi yang didiskusikan.
• Evaluai dalam pendidikan Islam adalah untuk mengetahui sampai sejauh mana keberhasilan sebuah poses belajar mengajar dan untuk memperbaiki kekurangan yang ada supaya hasil selanjutnya menjadi lebih baik. Secara teknis pelaksanaan evaluasi pendidikan Islam di Indonesia melalui Ujian Nasional (UN) bagi jenjang MI, MTs, dan MA. Sedangkan bagi perguruan tinggi dilakukan ujian semesteran dan ujian terakhir yang dikenal dengan munaqosah.
Sedangkan evaluasi di Mesir hampir sama dengan Indonesia melalui ujian yang dilakukan oleh Kementrian Pendidikan Mesir, mata ujiannya saja yang berbeda. Namun pada jenjang perguruan tinggi sistem evaluasi di Mesir, untuk tingkat S1 (al-Azhar) misalnya masih berpegang kuat dengan sistem naik tingkat. Akibatnya, tidak jarang program satu tingkat diselesaikan dalam beberapa tahun atau lebih fatal lagi.
C. SIMPULAN
Pendidikan Islam di Indonesia merupakan warisan peradaban Islam dan sekaligus aset bagi pembangunan pendidikan nasional. Sebagai warisan, ia merupakan amanat sejarah untuk dipelihara dan dikembangkan oleh ummat Islam dari masa ke masa. Sedangkan sebagai aset, pendidikan Islam yang tersebar di berbagai wilayah ini membuka kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk menata dan mengelolanya, sesuai dengan sistem pendidikan nasional (Rahim 2001, hlm. 3). Dalam kedua perspektif di atas, pendidikan Islam di Indonesia selalu menjadi lahan pengabdian kaum muslimin dan sekaligus menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional.
Sistem pendidikan Islam di Indonesia dan Mesir pada dasarnya tidak jauh berbeda, hal ini dapat dilihat dari orientasi pendidikannya yang sama berimbang antara dunia dan akhirat (perimbangan Imtaq dan Iptek). Dari aspek kurikulum juga tidak banyak perbedaan, bahkan Kementrerian Pendidikan Mesir berkeinginan menjadikan kurikulum Pendidikan Indonesia sebagai percontohan. Mengenai metode yang dipakai ada sedikit perbedaan; kalau pendidikan Islam di Indonesia terkenal banyak sekali istilah metode (multi metode), sedangkan pendidikan Islam di Mesir sering memakai metode halaqoh (dulunya) sekarang metode diskusi. Mengenai teknik evaluasi juga hampir sama, melalui ujian yang dilakukan oleh Kementrian Pendidikan Mesir, namun mata ujiannya saja yang berbeda.
REFERENSI
Abudin Nata, 2010, Sejarah Pendidikan Islam: Pada Periode Klasik dan Pertengahan, Raja Grafindo, Jakarta.
Ahmad D. Marimba, 1981, Metodik Khusus Islam, Bandung, PT. Al-Maarif, Cet ke-5.
Azyumardi Azra, 2000, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, Logos Wacana Ilmu, Jakarta.
Amsyari, Fuad, 1992, Strategi Perjuangan Umat Islam, Mizan, Bandung
Husni Rahim, 2001, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
http://www.dhanay.co.cc/2009/11/ktsp-kurikulum-tingkat-satuan.html 2 Nopember 2010.
http://www.balitbang.depdiknas.go.id. 4 Nopember 2010
Jusuf Amir Feisal, 1995, Reorientasi Pendidikan Islam,Gema Insani Press, Jakarta.
Muchotob Hamzah dan M. Imam Aziz, 2004, Tafsir Maudhu'i al-Muntaha, PT LKiS Pelangi Aksara, Yogyakarta.
M. Sastrapraja 1978, Kamus Istilah Pendidikan dan Umum, Usaha Nasional, Surabaya.
Osman Rabily 1982, Kamus Internasional, Bulan Bintang, Jakarta.
Ramayulis, 2004, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia, Cet ke-4, Jakarta.
Suharsimi Arikunto, 1993, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, Bumi Aksara, Jakarta.
Sumadi Suryabrata, 1983, Proses Belajar Mengajar di Perguruan Tinggi, Andi Offset, Yogyakarta.
W.J.S, Poerwadarminta, 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Zakiyah Darajat, dkk, 1996, Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta
Zuhairini, etl, 1992, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara,cet. I, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar