Selasa, 26 Juli 2011

MANUSIA DAN PENGETAHUAN

MANUSIA DAN PENGETAHUAN
Oleh : Dadang, S. Ag, S. IPI, M. Pd.I


A. PENDAHULUAN

Manusia diciptakan Allah di tengah dan di antara ciptaan-Nya yang lain, baik yang bernyawa ataupun yang tidak bernyawa. Eksistensi manusia di muka bumi adalah karena kehendak Allah, dimulai dari saat turunnya nabi Adam sebagai bapak manusia dan Siti Hawa sebagai ibu semua manusia. Pemahaman tentang manusia merupakan bagian dari kajian filsafat. Walaupun sampai kini kajian tentang manusia tidak terselesaikan, hal ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan para ilmuwan untuk menjangkau segala aspek yang terdapat dalam diri manusia ( Jalaluddin 2001, hlm. 11).
Untuk mengetahui hakikat dan substansi manusia, dan beberapa teori mutakhir manusia, serta orientasi kependidikan manusia, akan dilanjutkan pada pembahasan di bawah ini.

B. PEMBAHASAN

1. Hakikat dan Substansi Manusia
Islam berpandangan bahwa hakikat manusia merupakan perkaitan antara badan dan ruh. Badan dan ruh masing-masing merupakan substansi yang berdiri sendiri, yang tidak bergantung adanya oleh orang lain. Islam secara tegas mengatakan bahwa kedua substansi adalah substansi alam. Sedang alam adalah makhluk. Maka keduanya juga makhluk yang diciptakan oleh Allah Swt.
Kalau di lihat dari sumbernya, hakikat manusia itu bersumber pada dua asal. Pertama, ashal al-ba'id, (asal yang jauh), yaitu penciptaan pertama dari tanah yang kemudian Allah menyempurnakannya dan meniupkan kepadanya ruh. Kedua, ashal al-qarib, (asal yang dekat), yaitu penciptaan manusia dari nutfah (http://hakikat-manusia-potensi-akal- dan.html 24 Maret 2010).
Untuk menjelaskan kedua asal tersebut, Allah Swt berfirman dalam surah al-Hijr ayat 28-29:
           •           

Artinya : Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku Telah menyempurnakan kejadiannya, dan Telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud (Q.S. al-Hijr 28-29).

Hakikat manusia menurut Socrates sebagaimana dikutip oleh Sarlito (1978, hlm. 30) bahwa pada diri manusia terpendam jawaban mengenai berbagai persoalan dunia. Manusia bertanya tentang dunia dan masing-masing mempunyai jawaban tentang dunia. Tetapi seringkali manusia tidak menyadari bahwa dalam dirinya terpendam jawaban-jawaban bagi persoalan yang dipertanyakannya. Karena itu perlu ada orang lain yang membantu orang itu mengemukakan jawaban-jawaban yang masih terpendam tersebut. Menurut Endang Saifuddin Anshari ( 1981, hlm. 32) Sokrates lah filsuf Yunani yang pertama dan terutama sekali mengundang perhatian manusia untuk memperhatikan dirinya sendiri.
Sedangkan menurut Plato dalam Tafsir (2006, hlm. 9-10), hakikat manusia itu ada dua yaitu rasio dan kesenangan (nafsu). Dua unsur hakikat ini dijelakan Plato dengan pemisalan seseorang yang makan kue atau minum sesuatu, ia makan dan minum. Ia kesenangan, sementara rasionya tahu bahwa makanan dan minuman itu berbahaya baginya. Jadi dalam pandangan Plato, rasio itu sering berlawanan dengan nafsu (yang menimbulkan kesenangan tadi).
Berbeda dengan Poespoprodjo ( 1988) dalam Jalaluddin dan Abdullah (2009, hlm. 131), hakikat manusia haruslah diambil secara integral dari seluruh bagiannya ; bagian esensial manusia, baik yang metafisis (animalitas dan rasionalitas) maupun fisik (badan dan jiwa). Manusia wajib menguasai hakikatnya yang kompleks dan mengendalikan bagian-bagian tersebut agar bekerja secara harmonis. Karena manusia pada hakikatnya adalah hewan, maka ia harus hidup seperti hewan ; ia wajib menjaga badannya dan memenuhi kebutuhannya. Namun, sebagai hewan yang berakal budi, manusia harus hidup seperti makhluk yang berakal budi.
Nietzche melihat bahwa manusia adalah “uberman” atau superman, manusia bermental Tuhan yang dapat bertindak bebas tanpa petunjuk Tuhan. Bahkan manusia setengah robot yang memiliki AI (Artificial Intellegence) dan AL (Artificial Life). Manusia demikian ini disebut sebagai mengatasi batas gender bahkan sex, juga mengatasi panas bumi sebagai akibat kemajuan sain-teknologi yang kian tak terkendali (http://artikelilmiah.wordpress.com 25 Maret 2010).
Berbeda dengan pandangan Islam bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan, yang sekalipun berdimensi jasmani tetapi juga makhluk berdimensi rohani yang dapat bertransendensi. Pemikiran tentang manusia dalam Islam selalu berujung pada kesimpulan bahwa manusia itu “sakral” yang dapat mencapai tingkat spiritualitas tinggi dengan iman dan taqwanya. Dalam hazanah sufi, manusia malah tidak sekedar “percikan suci” tuhan, tetapi tuhan dapat mengambil tempat pada Kesadaran-Diri manusia, seperti pada pengalaman al-ittihad al-Bustami , al-hulul al-Hallaj , dan wahdat al-wujud al-’Arabi .
Dari beberapa pendapat di atas dapat dipahami bahwa hakikat manusia manusia adalah Makhluk yang diciptakan paling baik dan paling sempurna. (manusia memiliki akal dan nafsu), agama juga menerangkan bahwa manusia juga mempunyai kelebihan dan keunggulan dibanding makhluk lain. Sebagaimana Firman Allah SWT pada surat At-Tiin ayat 4:
      

Artinya : "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya".( Q. S. Attin : 4).
Manusia diciptakan paling baik dan paling sempurna karena manusia memiliki akal, dengan akal manusia bisa hidup lebih baik dan mudah. Hidup lebih sejahtera dan terhormat. Manusia memiliki akal yang merupakan keistimewaan yang tidak dimiliki makhluk lain. dengan akal manusia bisa berfikir dan merenungkan sesuatu, membedakan yang baik dan yang buruk, yang dianjurkan agama dan yang dilarang. Kemampuan untuk membedakan baik dan buruk, mampu menganalisa sesuatu. Membuat manusia memiliki potensi besar untuk beriman kepada Allah.

2. Beberapa Teori Mutakhir Manusia
a) Ubbersman Nietzsche
Friedrich Nietzsche dilahirkan pada tanggal 15 Oktober 1844 di Saxony, yang saat itu merupakan salah satu provinsi dari kerajaan Prussia yang kekuasaannya yang semakin lama semakin luas. Nietzsche adalah keturunan pedagang, salah satu diantara mereka adalah pedagang daging (tukang jagal), namun kakek dan ayahnya sendiri pendeta Kristen Lutheran. Ayah Nietzsche adalah seorang Prussian patriotik yang sangat mengagumi rajanya, Friedrich Wilhelm IV (Paul Strathern 2001, hlm. 4-5).
Nietzsche dibesarkan ibunya dalam lingkungan yang sebagian besar kaum wanita. Sejak tahun 1858, ia masuk sekolah asrama di Pforta, dan memperoleh nilai tinggi dalam bidang agama, sastra Jerman, dan zaman klasik, tetapi kurang bagus prestasinya dalam bidang matematika dan menggambar. Setelah lulus dari Pforta pada tahun 1864, Nietzsche belajar di Universitas Bonn bidang teologi dan filologi klasik. Pada tahun 1865, ia meninggalkan studi teologinya dan pindah ke Leipzig, di mana ia menerima pengaruh dari Schopenhauer melalui The World as Will in Idea (John Lechte 2001, hlm. 329).
Filsafat Nietzsche bisa dilihat sebagai usaha untuk menjawab pertanyaan ini : Bagaimana kita bisa hidup di dunia tanpa sesuatu (Tuhan) yang menjamin hidup itu berarti. Pada tahun 1882, Nietzsche menyimpulkan bahwa Tuhan telah mati. Ia pun memulai petualangan filosofis yang panjang untuk mencari jawaban nonrelegius atas pertanyaan: Apakah arti hidup? Dan untuk lari dari rasa patah hatinya setelah kehilangan keyakinan terhadap agama Kresten. Kondisi ini ia sebut dengan nihilisme (Neil Tumbull 1999, hlm. 140).
Nietzsche menganut nihilisme , yang memiliki pandangan bahwa moral pada akhirnya merupakan masalah yang ada pada diriku sendiri, ditentukan oleh diriku sendiri, dan bukan oleh yang lain, sekalipun yang lain itu disebut Tuhan. Sebab dalam faham nihilis, Tuhan bahkan tidak ada selain dari banyangan dan ciptaan diriku sendiri. Tuhan sudah mati, kata Nietzsche. Artinya, aku sendirilah yang harus menetukan norma-norma perilakuku sendiri. Tidak ada transendensi. Maka, tidak ada norma lain, kecuali cita-cita menjadi “Superman,” manusia unggulan, di mana nilai keunggulannya juga aku tentukan sendiri (I. Wibowo dan Herry Priyono 2006 , hlm. 52).

Karya-karya Nietszche yang terpenting adalah:
1. 1872 - Die Geburt der Tragodie (Kelahiran tragedi)
2. 1873-1876 - Unzeitgemässe Betrachtungen (Pandangan non-kontemporer)
3. 1878-1880 - Menschliches, Allzumenschliches (Manusiawi, terlalu manusiawi)
4. 1881 - Morgenrothe (Merahnya pagi)
5. 1882 - Die fröhliche Wissenschaft (Ilmu yang gembira)
6. 1883-1885 - Also sprach Zarathustra (Maka berbicaralah Zarathustra)
7. 1886 - Jenseits von Gut und Bose (Melampaui kebajikan dan kejahatan)
8. 1887 - Zur Genealogie der Moral (Mengenai silsilah moral)
9. 1888 - Der Fall Wagner (Hal perihal Wagner)
10. 1889 - Gotzen-Dämmerung (Menutupi berhala)
11. 1889 - Der Antichrist (Sang Antikristus)
12. 1889 - Ecce Homo (Lihat sang Manusia)
13. 1889 - Dionysos-Dithyramben
14. 1889 - Nietzsche contra Wagner (http://id.wikipedia.org/wiki/Friedrich_Nietzsche 23 Maret 2010)
Menurut analisa pemakalah paham Nietzsche ini menganggap bahwa manusia memiliki kekuasaan penuh untuk menentukan pilihannya sendiri. Tuhan dianggap tidak bisa mengintervensi manusia, Tuhan tidak memiliki otoritas pada diri manusia, bahkan Tuhan dianggap sudah mati.

b) Superior man Kong Fu tze
Kong-Fu-Tze dilahirkan kira-kira pada tahun 551 S.M. di Tsou di daerah Shantung sekarang dan berasal dari keturunan bangsawan (Mohamad Said dan Junimar Affan, 1987, hlm. 121). Nama aslinya adalah Kong Qiu ( K’ ong Ch’ iu). Ia hidup pada paro kedua pemerintahan dinasti Zhou. Ia mulai menyebarkan ajaran-ajarannya secara luas ketika pada usia lima puluh tahun diangkat menjadi hakim di Zhongdu (Chung-tu), dan setahun kemudian diangkat menjadi Menteri Kehakiman di Lu (Musthafa Khalili 2006, hlm. 180 ).
Konfusius (bentuk Latin dari nama Kong-Fu-Tse, “guru dari suku Kung”) hidup antara 551 dan 497 S.M. Ia mengajar bahwa Tao (”jalan” sebagai prinsip utama dari kenyataan) adalah “jalan manusia”. Artinya: manusia sendirilah yang dapat menjadikan Tao luhur dan mulia, kalau ia hidup dengan baik. Keutamaan merupakan jalan yang dibutuhkan. Kebaikan hidup dapat dicapai melalui perikemanusiaan (”yen”), yang merupakan model untuk semua orang. Secara hakiki semua orang sama walaupun tindakan mereka berbeda (http://labibsyauqi.blogspot.com.filsafat-cina-sejarah-singkat-tokoh-dan.html 31 Maret 2010).
Sistem etika dan falsafah yang dibangun oleh Konfucius didasarkan pada alasan tentang apakah sebenarnya hakikat manusia itu? Menurut Konfucius manusia merupakan makhluk individu yang keberadaannya tidak terpisah dari masyarakat. Di lain hal ia memandang bahwa masyarakat bukan sejenis kesatuan metafisik yang sepenuhnya mengatasi individu. Jika masyarakat benar-benar mengatasi individu, berarti keberadaan individu tidak ada artinya. Untuk itu keberadaan individu harus dipertimbangkan dan diserap dalam rangka kesatuan dan keseimbangan masyarakat (http://ahmadsamantho.kon-fu-tze-atau-konfucius/ 29 Maret 2010).
Dalam bidang etika dan moral, perhatian dicurahkan pada pengajaran tentang hakikat manusia. Pandangan Konfucius memacu timbulnya Konsepsi Meng Tzu tentang kebaikan bawaan dari kodrat manusiawi dan Konsepsi Hsun Chi mengenai kejahatan bawaan kodrat manusia. Teori Yang Chu tentang individualisme dan teori Mo Tzu tentang altruisme dikenal luas.( Lorens Bagus 1996, hlm. 259).
Menurut M. Sahari Besari (2008, hlm. 200), paham Konfusianisme tetap mempertahankan tradisi lama dalam menyembah nenek moyang serta memberi penghormatan kepada yang lebih tua, keluarga, dan sesama manusia. Tradisi lain yang juga dipertahankan adalah menghormati keadilan, mementingkan keserasihan (harmony), mempertahankan kedamaian, dan lain sebagainya. Namun paham ini menerima juga unsur rasionalisme sebagai reaksi terhadap religi yang lama. Konfusianisme tidak hanya mengajarkan mengenai dunia menggunakan pendekatan rasional, tetapi juga sebagai suatu sistem nilai politik dan etika.
Menurut Konfucius, manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial. Meskipun demikian, tidak sepenuhnya dibentuk oleh masyarakat. Keadaan yang dialami seseorang, kebiasaan-kebiasaan dan pola hidupnya, sebagian memang dibentuk oleh masyarakat. Tetapi di lain hal, karena masyarakat merupakan kumpulan individu manusia yang saling mempengaruhi satu dengan yang lain, maka masyarakat sebenarnya juga dibentuk oleh individu-individu yang memainkan peranan penting dalam pelbagai lapangan kehidupan(http://ahmadsamantho.kon-fu-tze-atau-konfucius).
Landasan kebenaran dalam kehidupan sosial adalah hati nurani. Hati nurani inilah yang dirujuk Konfucius ketika dia berkata: ”Seseorang tanpa keadaan sebenarnya, aku tak tahu apa jadinya!” ”Biarlah kesetian dan kebenaran menjadi yang utama bagimu.” ”Lebih baik tulus dan ikhlas, dibanding sekedar berpegang teguh (pada aturan)” ”Manusia dilahirkan untuk berdiri tegak, jika tidak demikian, dan walaupun ia masih hidup, akan beruntung jika ia melarikan diri.” ”Kaya dan terhormat adalah yang dihasratkan manusia; namun jika tak selaras dengan kebenaran (hati nurani) mungkin semua itu tak memberinya kebahagian.” (Lun Yu) (http://ahmadsamantho.kon-fu-tze-atau-konfucius/ 29 Maret 2010).
Menurut Kong Fu Tze jika tiap orang berada ditempat yang semestinya dan berperan sebagaimana mestinya, maka hidup dan segala hubungan hidup akan harmonis. Harmoni (Lat. Harmonia = selaras, serasi) adalah salah satu kunci ajang Kung. Harmoni memang sebuah kebutuhan dasar :harmoni dalam keluarga, harmoni dalam masyarakat, harmoni majikan dengan karyaawan, harmoni agama yang satu dengan agama yang lain, harmoni negara dengan negara tetangga, harmoni manusia dengan alam dan harmoni makhluk dengan khalik(Andar Ismail 2007, hlm. 15).
Memperhatikan pendapat Kung Fu Tze dapat dipahami bahwa ia merupakan pengasas kepada aliran Konfusianisme yang merupakan satu aliran pemikiran falsafah atau agama. Konfusianisme sedikit menekankan kepada kehidupan spiritual dan menjauhkan diri dari perbincangan mengenai kehidupan selepas mati tetapi lebih banyak menumpukan kepada dunia, sosial, keluarga dan moral. Sebagaimana ungkapan Kong Fu Tze ketika ditanya tentang kematian oleh muridnya, Konfisius menjawab “jika kita tidak tahu tentang kehidupan, bagaimana pula kita tahu tentang kematian”. Begitu juga beliau pernah berkata “kamu tidak mampu untuk berkhidmat kepada manusia, jadi bagaimana kamu hendak berkhidmat kepada ruh? (http://ahmadsamantho.kon-fu-tze-atau-konfucius).
Konfusianisme menekankan lima bentuk hubungan yaitu antara pemerintah dengan rakyat, ayah dengan anak, kakak dengan adik, sahabat dengan sahabat dan suami dengan isteri. Bagi Konfusianisme, dari keluarga akan berkembang menjadi masyarakat, seterusnya negara dan dunia. Kesemua konsep etika yang dikembangkannya diasaskan kepada ren atau kemanusiaan. Bagi Konfusius, nilai hubungan antara anak dengan bapa, ialah bapa harus berbaik hati dan anak harus berkewajiban terhadap orang tua, Hubungan suami isteri ialah suami harus jujur terhadap isteri dan isteri harus tunduk dan patuh dengan suami, hubungan saudara tua dengan saudara muda, yaitu yang tua harus bermurah hati dan membantu, manakala yang muda harus tunduk dan hormat. Hubungan raja dengan rakyat, ialah rakyat mesti bersifat kemanusiaan dan rakyat harus taat. Hubungan antara sahabat ialah kejujuran menjadi pendoman (http://id.wikipedia.org/wiki/Kong_Hu_Cu).
Karya-karya dari Kung Fu Tze dapat dibedakan menjadi dua pengelompokkan, pertama merupakan hasil perangkuman yang dilakukan Kung Fu Tze terhadap beberapa karya-karya yang dianggap penting dalam mencapai keharmonisan. Kedua merupakan hasil karya para muridnya yang berisi tentang ujaran-ujaran Kung Fu Tze kepada murid-muridnya.
Berikut ini penjelasan dari masing-masing yang termasuk dalam kelompok pertama, yaitu :
1. Shih Ching (Buku tentang Puisi) Merupakan kumpulan tulisan yang terdiri dari 305 puji-pujian dalam berbagai bahasan, dan didalamnya terdapat 6 yang mempergunakan musik dan judul tanpa text. Kumpulan tulisan ini umumnya berasal dari masa awal dinasti Chou, sebelum Kung Fu Tze.
2. Shu Ching (Buku tentang Sejarah) Merupakan kumpulan dokumen sejarah yang dimulai dari proklamasi raja Yao yang agung (2757 – 2258 SM) hingga Bangsawan Mu dari Chi (659 – 621 SM).
3. I Li (Buku tentang Upacara) Merupakan buku yang berisi kumpulan upacara-upacara dan peraturan-peraturan yang harus dipatuhi oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari dimasa feodal.
4. I Ching (Buku tentang Perubahan) Merupakan kumpulan tulisan yang menerangkan tentang prinsip-prinsip kosmis dan evolusi sosial yang didasarkan atas ramalan dengan menggunakan Oktogram.
5. Yueh Ching (Buku tentang Musik) Merupakan kumpulan tulisan yang dikumpulkan pada masa sebelum Dinasti Han, namun pada masa perkembangannya ada beberapa bab yang hilang, dan lebih dikenal sebagai Li Chi.
6. Ch’un Ch’iu (Musim Semi dan Gugur) Merupakan kritik sejarah tentang politik selama pemerintahan 12 Bangsawan dari negara Lu. (http://id.wikipedia.org/wiki/Kong_Hu_Cu_(filsuf) 29 Maret 2010).


c) Insan Kamil al Jilli
Nama lengkapnya adalah Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jilli. Ia lahir pada tahun 767 H (1365 M) di Jilan (Gilan), sebuah provinsi di sebelah selatan Kasfia dan wafat pada tahun 1417 M. Nama Jilli diambil dari tempat kelahirannya di Gilan. Ia adalah seorang sufi yang terkenal dari Baghdad (M. Jamil 2004, hlm. 114).
Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui oleh para ahli sejarah, tetapi dari sebuah sumber mengatakan bahwa ia pernah melakukan perjalanan ke India pada tahun 1387 M. Kemudian belajar tasawuf di bawah bimbingan Abdul Qadir Al-Jailani, seorang pendiri dan pemimpin tarekat Qadariyah yang sangat terkenal. Di samping itu, berguru pula pada syekh Syarafuddin Ismail bin Ibrahim Al-Jabarti di Zabid (Yaman) pada tahun 1393-1403 M (http://prosesberfikir.blogspot.com).
Ajaran tasawufnya yang terkenal dengan konsep al-Insan al Kamil (manusia sempurna). Untuk menggambarkan gagasan pokok al-Jilli tentang insan kamil ada dua hal yang perlu dikemukakan terlebih dahulu. Pertama, insan kamil adalah suatu tema yang berhubungan dengan persepsi mengenai sesuatu yang dipandang memiliki sifat mutlak Tuhan. Dia memiliki sifat sempurna, suatu sifat yang patut ditiru oleh manusia. Kedua, keyakinan bahwa yang memiliki sifat mutlak dan sempurna itu mencakup asma’ sifat dan hakikatNya(Asmaran As 2002, hlm. 357-358).
Insan kamil laksana cermin di hadapan Tuhan untuk mengenal asma’ dan sifatNya, baik yang terletak di kanan : al-hayah, al-ilm, al-qudrah, al-sam, al-basr dan seterusnya; maupun yang berada di kiri: al-azizah, al-abadiyah, al-awwaliyah, al-akhiriyah dan lain sebagainya (Asmaran As 2002, hlm. 360).
Menurut al-Jilli, Insan Kamil adalah nuskhah atau copy Tuhan, seperti termaktub dalam hadits berikut :
خَلَقَ الَّلهُ اَدَمَ عَلَئ صُرَةِ الرَّحْمَنِ
Allah mencipta Adam dalam bentuk yang maha Rahman.
خَلَقَ الَّلهُ اَدَمَ عَلَئ صُرَتِهِِ
Allah menciptakan Adam dalam bentuk diri-Nya

Seperti diketahui bahwa Tuhan memiliki sifat-sifat, seperti hidup, pandai, mampu, berkehendak, mendengar dan sebagainya. Manusia (Adam) pun memiliki sifat-sifat itu. Proses yang terjadi dalam hal ini adalah setelah Tuhan menciptakan substansi, huwiyah Tuhan dihadapkan dengan huwiyah Adam, aniyah-Nya disandingkan dengan aniyah Adam, dan zat-Nya dihadapkan pada zat Adam, dan akhirnya Adam berhadapan dengan Tuhan dalam segala haqiqah zatiyah-Nya(Annimary Schimmel 1986, hlm. 77).
Al-Jilli berpendapat bahwa nama dan sifat Ilahiah pada dasarnya merupakan milik insan kamil sebagai sutu kemestian yang inheren dengan esensinya. Hal itu karena sifat dan nama tersebut tidak memiliki tempat berwujud, melainkan pada insan kamil (Annimary Schimmel 1986, hlm. 77).
Lebih lanjut Al-Jilli berkata bahwa duplikasi Al-Kamal (kesempurnaan) pada dasarnya dimiliki oleh semua manusia, Al-Kamal dalam konsepnya mungkin dimiliki manusia secara profesional (bi Al-quwwah) dan mungkin pula secara actual (bi Al-fill) seperti yang terdapat dalam diri wali dan Nabi meskipun dalam intensitas yang berbeda. Sedangkan menurut Arberry Insan Kamil Al-Jilli dekat dengan konsep hulul Al-Hallaj dan konsep ittihad Ibn Arabi, yaitu integrasi sifat hulul dan nasut dalam suatu pribadi sebagai pancaran dari nur Muhammad. Adapun Ibn Arabi mentransfer konsep hulul Al-Hallaj dalam paham ittihad ketika menggambarkan insane kamil sebagai wali-wali Allah, yaitu diliputi oleh Nur Muhammad SAW(Annimary Schimmel 1986, hlm. 79).
Berkaitan dengan insan kamil, Al-Jilli merumuskan beberapa maqam yang harus dilalui oleh seorang sufi. Dalam istilahnya, maqam itu disebut Al-martabah (jenjang/tingkatan). Martabah-martabah itu adalah :
(1) Islam. Islam yang didasarkan pada lima pokok atau rukun dalam pemahaman kaum sufi tidak hanya dilakukan secara ritual, tetapi harus dupahami dan dirasakan lebih dalam.
(2) Iman. Yakni membenarkan dengan sepenuh keyakinan akan rukun iman dan melaksanakandasar-dasar Islam.
(3) Ash-Shalah. Pada maqam ini seorang sufi mencapai tingkatan ibadah yang terus menerus kepada Allah dengan perasaan khauf dan raja’.
(4) Ihsan. Maqam ini menunjukan bahwa seorang sufi mencapai tingkat menyaksikan efek (atsar) nama dan sifat Tuhan, sehingga dalam ibadahnya merasa seakan-akan berada di hadapan-Nya.
(5) Syahadah. Pada maqam ini, seorang sufi telah mencapai iradah yang bercirikan mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih, mengingat-Nya terus- menerus, dan meninggalkan hal-hal yang jadi keinginan pribadi.
(6) Shiddiqiyah. Istilah ini menggambarkan tingkat pencapaian hakikat ma’rifat yang diperoleh secara bertahap Dari ilmu Al-Yaqin, ‘ain Al-yaqin, dan haqq Al-yaqin.
(7) Qurbah. Ini merupakan maqam yang memungkinkan seorang sufi dapat menampakkan diri dalam sifat dan mendekati sifat dan nama Tuhan ( Ris’an Rusli 2006, hlm. 154-156).

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa ajaran al-Jilli tentang Insanul Kamil merupakan cermin Tuhan yang diciptakan atas nama-Nya, yang merupakan refleksi nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Sedangkan jalan menuju Insan Kamil, menurut al-Jilli, seseorang harus mampu menempuh jenjang Islam, Iman, Ihsan, Shaleh, Shiddiqiyah dan Qurbah.

d) Superman Iqbal

Muhammad Iqbal (1877-1938 M) lahir di Sialkot, Punjab, wilayah Pakistan (sekarang), 9 Nopember 1877M, dari keluarga yang religius. Ayahnya, Muhammad Nur adalah seorang tokoh sufi, sedang ibunya, Imam Bibi, juga dikenal sebagai muslimah yang salehah. Pendidikan formalnya dimulai di Scottish Mission School, di Sialkot, di bawah bimbingan Mir Hasan, seorang guru yang ahli sastra Arab dan Persia. Kemudian di Goverment College, di Lahore, sampai mendapat gelas BA, tahun 1897, dan meraih gelar Master dalam bidang filsafat, tahun 1899, dibawah bimbingan Sir Thomas Arnold, seorang orientalis terkenal. Selama pendidikan ini, Iqbal menerima beasiswa dan dua medali emas karena prestasinya dalam bahasa Arab dan Inggris (Mukti Ali 1998, hlm. 174).
Iqbal kemudian menjadi dosen di Goverment College dan mulai menulis syair-syair dan buku. Akan tetapi, di sini tidak dijalani lama, karena pada tahun 1905, atas dorongan Arnold, Iqbal berangkat ke Eropa untuk melanjutkan studi di Trinity College, Universitas Cambridge, London, sambil ikut kursus advokasi di Lincoln Inn. Di lembaga ini ia banyak belajar pada James Wird dan JE. McTaggart, seorang neo-Hegelian. Juga sering diskusi dengan para pemikir lain serta mengunjungi perpustakaan Cambridge, London dan Berlin. Untuk keperluan penelitiannya, ia pergi ke Jerman mengikuti kuliah selama dua semester di Universitas Munich yang kemudian mengantarkannya meraih gelar doctoris philosophy gradum, gelar doctor dalam bidang filsafat pada Nopember 1907, dengan desertasi The Development of Metaphysics in Persia, di bawah bimbingan Hommel. Selanjutnya, balik ke London untuk meneruskan studi hukum dan sempat masuk School of Political Science(Bilgrami 1982, hlm. 16 ).
Dalam pemikiran filsafat, Iqbal mengumandangkan misi kekuatan dan kekuasaan Tuhan, selain itu beliau juga menyatakan bahwasanya pusat dan landasan organisasi kehidupan manusia adalah ego yang dimaknai sebagai seluruh cakupan pemikiran dan kesadaran tentang kehidupan. Ia senantiasa bergerak dinamis untuk menuju kesempurnaan dengan cara mendekatkan diri pada ego mutlak, Tuhan. Karena itu, kehidupan manusia dalam keegoanya adalah perjuangan terus menerus untuk menaklukkan rintangan dan halangan demi tergapainya Ego Tertinggi. Dalam hal ini, karena rintangan yang terbesar adalah benda atau alam, maka manusia harus menumbuhkan instrumen-instrumen tertentu dalam dirinya, seperti daya indera, daya nalar dan daya-daya lainnya agar dapat mengatasi penghalang-penghalang tersebut. Selain itu, manusia juga harus terus menerus menciptakan hasrat dan cita-cita dalam kilatan cinta (`isyq), keberanian dan kreativitas yang merupakan essensi dari keteguhan pribadi. Seni dan keindahan tidak lain adalah bentuk dari ekspresi kehendak, hasrat dan cinta ego dalam mencapai Ego Tertinggi tersebut (Syarif 1993, hlm. 99).
Berdasarkan konsep kepribadian yang memandang kehidupan manusia yang berpusat pada ego inilah, Iqbal memandang kemauan adalah sumber utama dalam seni, sehingga seluruh isi seni sensasi, perasaan, sentimen, ide-ide dan ideal-ideal harus muncul dari sumber ini. Karena itu, seni tidak sekedar gagasan intelektual atau bentuk-bentuk estetika melainkan pemikiran yang lahir berdasarkan dan penuh kandungan emosi sehingga mampu menggetarkan manusia(Syarif 1993, hlm. 133).
Menurut Iqbal Islam mengajarkan pendapat dinamisme. Paham dinamisme inilah membuat Iqbal mempunyai kedudukan penting dalam pembaharuan di India. Dalam syair-syairnya ia mendorong umat Islam supaya bergerak dan jangan tinggal diam. Intisari hidup adalah gerak, sedang hukum hidup ialah menciptakan, maka Iqbal berseru kepada umat Islam supaya bangun dan menciptakan dunia baru. Begitu tinggi ia menghargai gerak, sehingga ia menyebut bahwa kafir yang aktif lebih baik dari muslim yang suka tidur (Harun Nasution 2001, hlm. 185).
Mencermati pemikiran Iqbal di atas, dapat dipahami bahwa Iqbal merupakan sosok pemikir multidisiplin. Di dalam dirinya berhimpun kualitas kaliber internasional sebagai seorang sastrawan, negarawan, ahli hukum, pendidik, filosof dan mujtahid. Iqbal telah merintis upaya pemikiran ulang terhadap Islam demi kemajuan kaum muslimin.
Islam sebagai way of life yang lengkap mengatur kehidupan manusia, ditantang untuk bisa mengantisipasi dan mengarahkan gerak dan perubahan tersebut agar sesuai dengan kehendak-Nya. Oleh sebab itu, Islam dihadapkan kepada masalah signifikan, yaitu sanggupkah Islam memberi jawaban yang cermat dan akurat dalam mengantisipasi gerak dan perubahan ini.
Iqbal tidaklah menetapkan suatu pandangan praktis dalam filsafatnya, namun ia berusaha menggugah cara pandang kaum muslimin yang selama ini terjebak dalam cara pandang yang statis dalam memandang dunia. Namun karena kehidupan manusia yang cendrung dinamis malah menjadikan umat Islam menjadi pengikut terhadap Bangsa Barat, dengan menanggalkan baju keislaman mereka. Dari sinilah Iqbal merekonstruksi paradigma kaum muslimin agar mampu hidup dalam dinamika kehidupan yang normal namun tetap dalam koridor sebagai seorang muslim yang mengabdi kepada Tuhannya.
Dari ke empat pendapat di atas dapat penulis simpulkan bahwa mereka adalah kumpulan orang-orang yang unggul. Hal ini dapat dilihat dari karakteristik pendapat mereka. Walaupun mereka berbeda dalam pandangannya, namun hakikat dari pemikirannya adalah sama, yaitu manusia adalah makhluk yang telah diciptakan Tuhan yang dibekali dengan akal dan nafsu. Dengan bekal itu manusia memiliki kemerdekaan untuk memperjuangkan nasib mereka di dunia ini. Tuhan dianggap telah memberikan kebebasan untuk manusia dalam menentukan nasibnya. Sehingga dengan kebebasan itu manusia dituntut untuk berbuat banyak demi kebaikan manusia itu sendiri.

3. Orientasi Kependidikan Manusia
Tujuan pendidikan akan sama dengan gambaran manusia terbaik menurut orang tertentu. Mungkin saja seseorang tidak mampu melukiskan dengan kata-kata tentang bagaimana manusia yang baik yang ia maksud. Sekalipun demikian tetap saja ia menginginkan tujuan pendidikan itu haruslah manusia terbaik. Tujuan pendidikan sama dengan tujuan manusia. Manusia menginginkan semua manusia, termasuk anak keturunannya, menjadi manusia yang baik.
Tujuan pendidikan secara lebih luas dikemukakan oleh Syaibani (1979, hlm. 39). Menurutnya yang dimaksud dengan tujuan pendidikan ialah perubahan yang diinginkan yang diusahakan oleh proses pendidikan, baik pada tingkah laku individu dan pada kehidupan pribadinya, atau pada kehidupan masyarakat dan alam sekitar tempat individu itu hidup, atau pada proses pendidikan dan pengajaran, sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai propesi diantara profesi-profesi asasi dalam masyarakat.
Mencermati pendapat Syaibani di atas, akan terlihat tiga aspek yang ingin dicapai dari usaha pendidikan, yaitu perubahan-perubahan dalam bidang berikut : Tujuan-tujuan individual adalah tujuan yang berkaitan dengan pribadi seseorang, pelajaran, perubahan tingkah laku, aktivitas pencapaiannya, pertumbuhan yang diinginkan oleh pribadi mereka, serta pada persiapan untuk menjalani kehidupan dunia dan akhirat.
Tujuan sosial yaitu tujuan yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan, dengan tingkah laku masyarakat umumnya, dengan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan, pertumbuhan, memperkaya pengalaman, dan kemajuan yang diinginkan. Tujuan-tujuan profesional adalah tujuan yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, seni, profesi, dan sebagai suatu aktivitas diantara aktivitas-aktivitas masyarakat.
Dari uraian di atas, secara umum dapat dikatakan bahwa aspek-aspek yang ingin dicapai dari suatu usaha pendidakan ialah adanya suatu perubahan yang bersifat utuh menyeluruh pada diri manusia, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial, tanpa mengabaikan aspek-aspek profesionalitas.

Selanjutnya mengenai tujuan pendidikan, Mohammad Noer Syam dalam Zuhairini ( 1995, hlm. 161) merincinya dalam bentuk taksotomi (sistem klasifikasi) yang terutama meliputi :
1. Pembinaan kepribadian( nilai formal)
a. Sikap (attitude)
b. Daya pikir praktis rasional
c. Obyektivitas
d. Loyalitas kepada bangsa dan ideologi
e. Sadar nilai-nilai moral dan agama

2. Pembinaan aspek pengetahuan (nilai material), yaitu materi ilmu itu sendiri.
3. Pembinaan aspek kecakapan keterampilan (skill) nilai-nilai praktis.
4. Pembinaan jasmani yang sehat.
Berbeda denga Muhammad Athiyah al- Abrasyi dalam Syamsul Nizar ( 2002, hlm. 37), beliau menyimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam terdiri dari 5 sasaran, yaitu : 1. membentuk akhlak mulia 2. mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat 3. persiapan untuk mencari rizki dan memelihara segi kemanfaatannya 4. menumbuhkan semangat ilmiah di kalangan peserta didik 5. mempersiapkan tenaga profesional yang terampil.
Dari beberapa pendapat di atas dapat penulis simpulkan bahwa orientasi pendidikan manusia adalah untuk jangka panjang dan jangka pendek. Untuk jangka pendek pendidikan itu berorientasi pada: status sosial, dan kesuksesan. Kesuksesan ditakar dengan memiliki pekerjaan yang bagus, keluarga yang mapan, menjadi tokoh berpengaruh dalam masyarakat, dikenal banyak orang, kehidupan ekonomi yang cukup, memiliki barang-barang material yang standar kelas menengah, dan sebagainya.
Untuk jangka panjang adalah suatu kebahagiaan di akhirat yang menjadi tujuan dari semua orang, khususnya penulis sendiri, hal ini dapat dirumuskan bahwa tujuan pendidikan itu bagi manusia adalah merupakan proses pembimbing dan membina fitrah peserta didik secara maksimal dan bermuara pada terciptanya pribadi peserta didik sebagai manusia sempurna(insan kamil). Melalui sosok pribadi yang demikian, peserta didik diharapkan akan mampu memadukan fungsi iman, ilmu, dan amal secara integral bagi terbinanya kehidupan yang harmonis, baik di dunia maupun akhirat.


C. SIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa hakikat manusia manusia adalah Makhluk yang diciptakan paling baik dan paling sempurna. (manusia memiliki akal dan nafsu), agama juga menerangkan bahwa manusia juga mempunyai kelebihan dan keunggulan dibanding makhluk lain. Sebagaimana Firman Allah SWT pada surat At-Tiin ayat 4:
      

Artinya : "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya".( Q. S. Attin : 4).
Manusia diciptakan paling baik dan paling sempurna karena manusia memiliki akal, dengan akal manusia bisa hidup lebih baik dan mudah. Hidup lebih sejahtera dan terhormat. Manusia memiliki akal yang merupakan keistimewaan yang tidak dimiliki makhluk lain. dengan akal manusia bisa berfikir dan merenungkan sesuatu, membedakan yang baik dan yang buruk, yang dianjurkan agama dan yang dilarang. Kemampuan untuk membedakan baik dan buruk, mampu menganalisa sesuatu. Membuat manusia memiliki potensi besar untuk beriman kepada Allah.
Selanjutnya beberapa teori mutakhir manusia diantaranya pendapat Nietzsche. Menurutnya manusia memiliki kekuasaan penuh untuk menentukan pilihannya sendiri. Tuhan dianggap tidak bisa mengintervensi manusia, Tuhan tidak memiliki otoritas pada diri manusia, bahkan Tuhan dianggap sudah mati.
Sedangkan Kung Fu Tze, ia merupakan pengasas kepada aliran Konfusianisme yang merupakan satu aliran pemikiran falsafah atau agama. Konfusianisme sedikit menekankan kepada kehidupan spiritual dan menjauhkan diri dari perbincangan mengenai kehidupan selepas mati tetapi lebih banyak menumpukan kepada dunia, sosial, keluarga dan moral. Dimana ajaran filsafatnya yang terkenal yaitu harmoni.
Ajaran al-Jilli, ia terkenal dengan ajaran tasawufnya Insanul Kamil, yang merupakan cermin Tuhan yang diciptakan atas nama-Nya, yang merupakan refleksi nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Sedangkan jalan menuju Insan Kamil, menurut al-Jilli, seseorang harus mampu menempuh jenjang Islam, Iman, Ihsan, Shaleh, Shiddiqiyah dan Qurbah.
Sedangkan pemikiran Iqbal, dapat dipahami bahwa ia merupakan sosok pemikir multidisiplin. Di dalam dirinya berhimpun kualitas kaliber internasional sebagai seorang sastrawan, negarawan, ahli hukum, pendidik, filosof dan mujtahid. Iqbal telah merintis upaya pemikiran ulang terhadap Islam demi kemajuan kaum muslimin. Iqbal tidaklah menetapkan suatu pandangan praktis dalam filsafatnya, namun ia berusaha menggugah cara pandang kaum muslimin yang selama ini terjebak dalam cara pandang yang statis dalam memandang dunia. Namun karena kehidupan manusia yang cendrung dinamis malah menjadikan umat Islam menjadi pengikut terhadap Bangsa Barat, dengan menanggalkan baju keislaman mereka. Dari sinilah Iqbal merekonstruksi paradigma kaum muslimin agar mampu hidup dalam dinamika kehidupan yang normal namun tetap dalam koridor sebagai seorang muslim yang mengabdi kepada Tuhannya.
Mereka adalah kumpulan orang-orang yang unggul. Hal ini dapat dilihat dari karakteristik pendapat mereka. Walaupun mereka berbeda dalam pandangannya, namun hakikat dari pemikirannya adalah sama, yaitu manusia adalah makhluk yang telah diciptakan Tuhan yang dibekali dengan akal dan nafsu. Dengan bekal itu manusia memiliki kemerdekaan untuk memperjuangkan nasib mereka di dunia ini. Tuhan dianggap telah memberikan kebebasan untuk manusia dalam menentukan nasibnya. Sehingga dengan kebebasan itu manusia dituntut untuk berbuat banyak demi kebaikan manusia itu sendiri.

Dan yang terakhir, orientasi pendidikan bagi manusia adalah untuk jangka panjang dan jangka pendek. Untuk jangka pendek pendidikan itu berorientasi pada: status sosial, dan kesuksesan. Kesuksesan ditakar dengan memiliki pekerjaan yang bagus, keluarga yang mapan, menjadi tokoh berpengaruh dalam masyarakat, dikenal banyak orang, kehidupan ekonomi yang cukup, memiliki barang-barang material yang standar kelas menengah, dan sebagainya.
Untuk jangka panjang adalah suatu kebahagiaan di akhirat yang menjadi tujuan dari semua orang, khususnya penulis sendiri, hal ini dapat dirumuskan bahwa tujuan pendidikan itu bagi manusia adalah merupakan proses pembimbing dan membina fitrah peserta didik secara maksimal dan bermuara pada terciptanya pribadi peserta didik sebagai manusia sempurna(insan kamil). Melalui sosok pribadi yang demikian, peserta didik diharapkan akan mampu memadukan fungsi iman, ilmu, dan amal secara integral bagi terbinanya kehidupan yang harmonis, baik di dunia maupun akhirat.









DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam : Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu Memanusiakan Manusia, Bandung: PT Rosdakarya.

Ali Syariati, 2002, Makna Doa, Jakarta: Zahra Publishing House.

Andar Ismail, 2007, Selamat Berpulih : 33 Renungan Tentang Pemulihan, Jakarta, BPK Gunung Mulia.

Annimary Schimmel 1986, Dimensi Mistik dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus.

Asmaran As, 2002, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Bilgrami, 1982, Iqbal Sekilas Tentang Hidup dan Pikiran-Pikirannya, terj. Djohan Effendi. Jakarta: Bulan Bintang.

Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra Semarang.

Harun Nasution 2001, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang.

Harun Nasution, 1995, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Cet. IX, Jakarta : Bulan Bintang.

I. Wibowo dan Herry Priyono, 2006 Sesudah Filsafat: Esai-Esai untuk Franz Magnis-Suseno, Yogyakarta: Kanisius.

Jalaluddin dan Abdullah Idi, 2009, Filsafat Pendidikan : Manusia, Filsafat, dan Pendidikan, Yogyakarta : Ar- Ruzz Media.

Jalaluddin, 2001, Teologi Pendidikan, Jakarta : PT Raja Grafindo.

John Lechte, 2001, 50 Filsuf Kontemporer: Dari Strukturalisme sampai Postmodernitas, Diterjemahkan Gunawan Admiranto, Yogyakarta: Kanisius.

Lorens Bagus 1996, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

M, Sahari Besari, 2008, Teknologi di Nusantara: 40 Abad Hambatan Inovasi, Jakarta: Penerbit Salemba.

M. Jamil, 2004, Cakrawala Tasawuf: Sejarah, Pemikiran dan Kontekstualitas, Jakarta: Gaung Persada Press.

Mohamad Said dan Junimar Affan, 1987, Mendidik dari Zaman ke Zaman, Bandung, Jemmars.

Mukti Ali, 1998, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Bandung: Mizan.

Mulyadhi Kartanegara dan Achmad Ta’yudin, 2006, Menyelami Lubuk Tasawuf, Jakarta, Erlangga.

Musthafa Khalili, 2006, Berjumpa Allah dalam Salat, Jakarta: Zahra Publishing House.

Neil Turnbull, 1999, Bengkel Ilmu: Filsafat, Alih Bahasa Al- Fatih Geusan Pananjung A, Jakarta: Erlangga.

Omar Mohammad al- Toumy Al-Syaibani 1979, Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang.

Paul Strathern, 2001, 90 Menit Bersama Nietzsche, Alih Bahasa Frans Kowa, Jakarta: Erlangga.

Ris’an Rusli 2006, Tasawuf dan Tarekat (Studi Pemikiran dan Pengamalan Sufi), Palembang, IAIN Raden Fatah Press.

Saifuddin Anshari, 1981, Ilmu Filsafat dan Agama, Surabaya, PT. Bina Ilmu.

Sarlito Wirawan Sarwono, 1978, Berkenalan dengan Aliran-Aliran dan Tokoh-Tokoh Psikologi, Jakarta : Bulan Bintang.

Syarif, 1993, Iqbal tentang Tuhan dan Keindahan, terj. Yusuf Jamil, Bandung: Mizan.

Wan Anwar, 2007, Kuntowijoyo: Karya dan Dunianya, Jakarta, Grasindo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar