KRITERIA BERPIKIR ILMIAH
Oleh: Dadang, S. Ag, S. IPI, M. Pd.I
A. Pendahuluan
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang dilengkapi dengan akal pikiran. Tanpa memiliki akal derajad kemanusian akan tampak tidak sempurna sebagai khalifah fil ard. Akal digunakan manusia untuk berpikir, berpikir merupakan sebuah kegiatan mental yang menghasilkan pengetahuan( Jujun S. Suriasumantri 1996, hlm. 119). Jadi apabila manusia benar-benar memaksimalkan fungsi otaknya untuk berpikir dalam menemukan pengetahuan atau menghasilkan pengetahuan termasuk kategori berpikir ilmiah.
Pada hakekatnya, berpikir secara ilmiah merupakan gabungan antara penalaran secara deduktif dan induktif(M Jamiluddin Ritonga 2004, hlm.13). Masing-masing penalaran ini berkaitan erat dengan rasionalisme atau empirisme. Memang terdapat beberapa kelemahan berpikir secara rasionalisme dan empirisme, karena kebenaran dengan cara berpikir ini bersifat relatif atau tidak mutlak. Oleh karena itu, seorang sarjana atau ilmuwan haruslah bersifat rendah hati dan mengakui adanya kebenaran mutlak yang tidak bisa dijangkau oleh cara berpikir ilmiah. Induksi merupakan cara berpikir untuk menarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individual. Sementara deduksi merupakan cara berpikir yang berpangkal dari pernyataan umum, dan dari sini ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.
Berpikir ilmiah sebuah kegiatan yang seringkali dilakukan oleh para ilmuwan. Ilmuwan dalam mengkaji dan meneliti hubungan kausalitas (sebab akibat) antara berbagai macam peristiwa yang terjadi dalam kehidupan manusia di alam semesta ini menggunakan daya pikir yang logis analitis serta kritis.
Ilmu pengetahuan dikatakan ilmiah jika memiliki metode dan cara yang benar dan bisa dipertanggungjawabkan paling tidak ditunjang oleh tiga komponen utama : pertama adanya objek, kedua adanya metode yang digunakan dan ketiga adanya sistematika tertentu( Chalijah Hasan 1994, hlm. 12). Jadi berpikir ilmiah merupakan cara berpikir yang memiliki tata cara dan aturan main yang berlandaskan sistematika tertentu dan benar berdasarkan atas data empiris.
Untuk melakukan kegiatan ilmiah secara baik diperlukan kreteria berpikir. Menurut Nazir Umar, ada beberapa kreteria berpikir ilmiah yaitu : 1. Berdasarkan pada fakta, maksudnya berdasarkan fakta yang nyata, bukan kira-kira, lagenda-lagenda dan semacamnya. 2. Bebas dari prasangka, maksudnya bebas dari sudut pandang yang subyektif tetapi benar-benar bedasarkan alasan dan bukti yang lengkap dengan pembuktian yang objektif. 3. Menggunakan analisis, maksudnya permasalahan harus dicari sebab-sebabnya serta pemecahannya dengan menggunakan analisis yang logis (Husein Umar 2005, hlm. 60-61).
B. Pembahasan
1. Beberapa Pengertian
Sebelum kita lebih jauh membahas berbagai kriteria berpikir ilmiah, alangkah baiknya jika kita terlebih dahulu tahu tentang pengertian kriteria. Kriteria adalah suatu prinsip atau standar yang digunakan untuk menilai sesuatu. Oleh karena itu kriteria dapat dipandang sebagai prinsip ‘tingkat kedua’, yang menjelaskan lebih lanjut arti prinsip tersebut dan membuatnya lebih operasional tanpa harus membuat kriteria ini menjadi sesuatu yang secara langsung dapat digunakan untuk mengukur kinerja suatu kegiatan(Ani Kartikasari 1999, hlm. 5). Dapat dipahami bahwa kreteria adalah merupakan suatu cara atau langkah-langkah untuk menuju sesuatu.
Setelah kita mengetahui apa itu kriteria, sekarang tidak salah kalau kita tahu apa itu berpikir. Menurut John Chaffe, berpikir adalah sebagai sebuah proses aktif, teratur, dan penuh makna yang kita gunakan untuk memahami dunia( A. Chaedar Alwasilah 2008, hlm. 187) Dalam proses berpikir manusia dengan sendirinya memiliki keyakinan atas yang diketahuinya. Adanya keyakinan disebut aksioma berpikir, artinya suatu dasar yang diterima tanpa pembuktian sebagai pangkal susunan berpikir selanjutnya (Daldiyono Hardjodisastro 2006, hlm. 126). Memperhatikan pendapat di atas dapat penulis simpulkan bahwa berpikir adalah suatu proses pencarian jawaban, atau mencari suatu jalan keluar dari suatu persoalan pada akhirnya menemukan suatu makna.
Dalam buku Tasaurus Bahasa Indonesia Ilmiah adalah keilmuan, saintifik ; obyektif, rasional (Eko Endarmoko 2007, hlm. 245). Menurut Kees Bertens, (2007, hlm. 34), Ilmiah adalah suatu ilmu yang bersifat rasional dan teruji kebenarannya, sistematis dan objektif. Dapat di simpulkan bahwa ilmiah adalah merupakan suatu ilmu yang mengandung kebenaran yang bersifat objektif tanpa adanya manipulasi.
Setelah kita mengetahui pengertian kriteria berpikir ilmiah, kita lanjutkan pembahasan pada sub-tema yang telah penulis peroleh dari Dosen Pengampu sebagai rujukan, dengan harapan pembahasan tidak jauh keluar dari apa yang diharapkan. Ada tiga sub-tema dalam pembahasan kriteria berpikir ilmiah yaitu :
1) Objektivitas
Masalah objektivitas biasanya dibicarakan dengan mengabaikan kesadaran yang menyatakan objektivitas ini. Kita juga mudah mengesampingkan kenyataan bahwa setiap pernyataan mengenai objektivitas merupakan akibat dari desakan kesadaran yang menyatakannya. Akibatnya kita melalaikan ketidakpuasan mendalam yang dirasakan oleh bidang-bidang kesadaran tertentu terhadap pembuangan kualitas-kualitas sekunder sebagaimana dilakukan oleh Kant dan realitas virtual( P. Hardono Hadi 1994, hlm. 91).
Apa itu objek? Pertanyaan yang patut untuk dijawab. Ada pendapat bahwa objek dapat dilihat dalam arti luas dan dalam arti terbatas. Dalam arti lebih luas, objek adalah segala sesuatu yang menjadi sasaran pengarahan suatu tindakan sadar dari subjek. Dengan kata lain, objek adalah sesuatu yang menjadi sasaran intensionalitas kekuatan jiwa, kebiasaan atau bahkan ilmu tertentu. Objek adalah tujuan tindakan ( daya, kebiasaan, ilmu) sebagai tindakan. Dalam arti lebih terbatas, objek tidak berarti setiap atau semua yang diketahui atau yang dikehendaki, melainkan hanya berarti apa yang secara independent bertentangan dengan atau berhadapan dengan subjek sedemikian rupa, sehingga subjek itu harus memperhatikannya.( Lorens Bagus 2000, hlm. 731).
Filsafat skolastik membedakan objek material dari objek formal. Objek material adalah eksisten konkret seutuhnya yang merupakan sasaran intensionalitas subjek. Objek formal adalah ciri atau aspek khusus (bentuk) yang ditonjolkan untuk menyimak keutuhan itu ( Lorens Bagus 2000).
Membahas tentang berpikir ilmiah tidak dapat dilepaskan dari nilai objektivitas terhadap apa yang yang sedang dikaji. Karena nilai sebuah objektivitas adalah bagian dari rangkaian dalam suatu penilaian, apalagi dalam berpikir ilmiah. Berpikir ilmiah adalah suatu pola penyelesaian masalah secara rasional dan objektif, dengan kata lain menghilangkan unsur subjektifitas dan melihat perkara secara netral dengan mengandalkan pendapat-pendapat para pakar, yang dipercaya telah melakukan penelitian, analisis dan melewati beberapa tahap kritik sehingga kandungan kebenarannya telah diuji dan dipercaya (http: wordpress.com ). Analisis dan Argumentasi yang mentah, yang hanya sekedar bersifat abstraksi sepihak yang diutarakan secara subjektif justru menghilangkan ke-otentikan cara berpikir ilmiah tersebut.
Berpikir ilmiah memiliki macam kriteria diantaranya adalah objektivitas, generalisasi dan sistematisasi. Untuk lebih jelas alangkah baiknya kita pahami dulu apa itu objektivitas. Berbagai pendapat penulis ketengahkan dalam membahas objektivitas.
Objektivitas adalah keadaan jiwa yang memungkinkan seseorang untuk merasakan suatu realitas seperti apa adanya( Hiro Tugiman hlm. 34). Jamiluddin Ritonga (2004, hlm. 32) mendefinisikan Objektivitas adalah sebagai derajat, yaitu pengukuran yang dilakukan bebas dari pendapat dan penilaian subjektif, bebas dari bias, dan perasaan orang yang menggunakan tes. Lain lagi dengan Husein Umar (2004, hlm.77), menurutnya objektivitas adalah data yang diisikan pada kuesioner terbebas dari penilaian yang subjektif, seperti perasaan responden. Dari beberapa pendapat di atas penulis dapat simpulkan bahwa objektivtas adalah suatu sikap atau cara pandang yang konsisten dan jujur terhadap sesuatu.
Kematangan berpikir ilmiah sangat ditentukan oleh kematangan berpikir rasional dan berpikir empiris yang didasarkan pada fakta (objektif), karena kematangan itu mempunyai dampak pada kualitas ilmu pengetahuan. Sehingga jika berpikir ilmiah tidak dilandasi oleh rasionalisme, empirisme dan objektivitas maka berpikir itu tidak dapat dikatakan suatu proses berpikir ilmiah. Karena itu sesuatu yang memiliki citra rasional, empiris dan objektif dalam ilmu pengetahuan dipandang menjamin kebenarannya, dengan demikian rasionalisme, empirisme dan objektivitas merupakan dogma dalam ilmu pengetahuan ( Hidajat : 1984 ). Dapat penulis pahami bahwa nilai objektivitas dalam berpikir ilmiah adalah sesuatu yang penting dan merupakan suatu bentuk pengujian dari sebuah kebenaran yang ingin dicapai dalam proses berpikir ilmiah itu sendiri.
2) Generalisasi
Generalisasi adalah sebuah pernyataan yang berlaku untuk semua atau sebagian besar gejala yang diamati. Suatu generalisasi menyangkut cirri-ciri umum yang menonjol, bukan rincian(Widjono Hs 2007, hlm. 222). Generalisasi adalah penalaran dengan cara menarik kesimpulan berdasarkan dengan data yang sesuai dengan fakta. Data tersebut harus cukup untuk membuat kesimpulan secara umum( Ismail Kusmayadi 2006, hlm. 43).
Menurut Lorens Bagus (2000, hlm. 274) Generalisasi adalah suatu proses transisi logis dari hal partikular ke hal universal, dari pengetahuan yang kurang umum ke pengetahuan yang lebih umum. Misalnya transisi dari konsep “panas” ke konsep “energi” ; dari geometri Euklides ke geometri Labachevsky.
Generalisasi secara sederhana adalah menempatkan semua masalah setipe pada opini yang sama. Generalisasi merupakan pengungkapan opini terhadap masalah secara pragmatis, tidak mau menelaah bahwa setiap masalah belum tentu mempunyai kondisi sama alias mungkin berbeda( akses : http://3an.blogspot.com). Untuk sebuah opini pribadi, generalisasi sah-sah saja dan menjadi pandangan orang tersebut terhadap masalah. Namun untuk opini publik, atau opini pribadi yang dipaksakan ke publik, generalisasi menurut saya sangatlah tidak tepat.
Contoh yang sederhana dan simpel dan sedang marak-maraknya terjadi, mengeneralisasi bahwa selama pemerintahan Soeharto buruk. Atau malah sebaliknya semuanya baik sehingga tidak ada yang perlu diungkit-ungkit sisi buruknya lagi, apalagi Bapak tersebut sudah tiada. Opini yang semacam ini adalah generalisasi, dan ini menurut saya bahaya. Opini tersebut tidak jujur, dan justru menunjukan betapa tidak dewasanya penyuara opini tersebut.
Opini yang lebih fair dan mendewasakan bila melihat segalanya dari dua sisi, antara kebaikan dan keburukannya. Kita akui semua jasa-jasanya selama membangun Indonesia, dan mungkin bisa dianugerahkan pahlawan, dan di sisi yang lain memproses kasus-kasus yang melibatkannya dilanjutkan penyelidikan kepada pihak-pihak yang hidup ada saat ini.
Tampaknya bangsa ini sudah terlalu ingin menyederhanakan segalanya menjadi mudah, berpikir biner alias 1-0. Artinya kalau tidak 1, ya 0. Kalau tidak baik, ya buruk. Kalau tidak pahlawan, ya penjahat. Bukankah semua persoalan hidup ini tak bisa semata-mata dilihat dari sudut 1-0? Begitu pula dengan Soekarno, yang banyak dirindukan semangatnya untuk memajukan bangsa. Soekarno memang pemimpin luar biasa, sederhana dan visioner. Tapi jangan lupa, Soekarno pula yang mendefinisikan dirinya sebagai ‘aktor demokrasi terpimpin’.
Bagaimana bila itu berupa opini pribadi? Satu hal, itu sekali lagi sah-sah saja. Dan hanya akan menjadi penilaian lingkungan terhadap orang tersebut. Kembali masalah kedewasaan. Namun saat itu dipaksakan kepada orang lain, itulah yang menjadi kurang bijak. Misalnya seperti ini, seorang teman sangat tidak suka untuk menikah (atau ‘berhubungan’) dengan perempuan berjilbab. Alasanya, karena perempuan yang memakai jilbab belum tentu baik hatinya. Saya pun balik bertanya, apa semua orang yang tidak memaikai jilbab baik hatinya? Baik tidak baik memang tidak ditentukan oleh jilbab semata, namun jilbab bagi seorang muslimah (yang menyakininya dengan benar) merupakan bentuk pelaksanaan syariat agama.
Generalisasi yang tidak boleh dilakukan adalah yang menyangkut dengan kepercayaan (faith) dan hukum alam (law of nature). Bahwa Risalah Tuhan itu benar, tidak perlu dibantah. Bahwa air akan mendidih di suhu 100 derajat celcius, tidak perlu dicoba untuk disentuh.
Sedangkan yang berhubungan dengan interaksi antar manusia, semua generalisasi adalah salah. Bukankah demikian? Bila memperhatikan beberapa pendapat di atas mengenai generalisasi dapat disimpulkan, generalisasi adalah suatu proses penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomena khusus menuju kesimpulan umum yang mengikat seluruh fenomena sejenis dengan fenomena khusus yang diselidiki.
3) Sistematisasi
Dalam Tesaurus Bahasa Indonesia, sistematisasi adalah penataan, penertiban, pengaturan, pengorganisasian, penyisteman(Eko Endarmoko 2007, hlm. 606). Sebagai bagian dari kreteria berpikir ilmiah sistematis mesti dibutuhkan, karena tanpa adanya sifat sistematis cara berpikir ilmiah bisa diragukan.
Karena berpikir merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan”( S.Suriasumantri, 1997,). Oleh karena itu, proses berpikir untuk sampai pada suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan diperlukan sarana tertentu yang disebut dengan sarana berpikir ilmiah.
Sarana berpikir ilmiah merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Pada langkah tertentu biasanya juga diperlukan sarana tertentu pula. Tanpa penguasaan sarana berpikir ilmiah kita tidak akan dapat melaksanakan kegiatan berpikir ilmiah yang baik. Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik diperlukan sarana berpikir ilmiah berupa: “[1] Bahasa Ilmiah, [2] Logika dan metematika, [3] Logika dan statistika(Tim Dosen Filsafat Ilmu 1992, hlm. 68). Bahasa ilmiah merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah. Bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran seluruh proses berpikir ilmiah kepada orang lain. Logika dan matematika mempunyai peran penting dalam berpikir deduktif sehingga mudah diikuti dan dilacak kembali kebenarannya. Sedangkan logika dan statistika mempunyai peran penting dalam berpikir induktif untuk mencari konsep-konsep yang berlaku umum”.
Berdasarkan
Metode-metode
Ilmiah
Sarana berpikir ilmiah digunakan sebagai alat bagi cabang-cabang pengetahuan untuk mengembangkan materi pengetahuannya berdasarkan metode-metode ilmiah. “Sarana berpikir ilmiah mempunyai metode tersendiri yang berbeda dengan metode ilmiah dalam mendapatkan pengetahuan. Dalam mendapatkan pengetahuan ilmiah pada dasarnya ilmu menggunakan penalaran induktif dan deduktif, dan sarana berpikir ilmiah tidak menggunakan cara tersebut. Berdasarkan cara mendapatkan pengetahuan tersebut jelaslah bahwa sarana berpikir ilmiah bukanlah ilmu, melainkan sarana ilmu yang berupa : bahasa, logika, matematika, dan statestika”. Sedangkan “fungsi sarana berfikir ilmiah adalah untuk membantu proses metode ilmiah, baik secara deduktif maupun secara induktif( Tim Dosen Filsafat Ilmu 1996, hlm. 100)
Kemampuan berpikir ilmiah yang baik sangat didukung oleh penguasaan sarana berpikir dengan baik pula. Maka dalam proses berpikir ilmiah diharuskan untuk mengetahui dengan benar peranan masing-masing sarana berpikir tersebut dalam keseluruhan proses berpikir ilmiah. Berpikir ilmiah menyadarkan diri kepada proses metode ilmiah baik logika deduktif maupun logika induktif. Ilmu dilihat dari segi pola pikirnya merupakan gabungan antara berpikir deduktif dan induktif.
Agar pengetahuan yang dihasilkan dari proses berpikir mempunyai dasar kebenaran, maka proses berpikir dilakukan dengan cara tertentu. Cara berpikir logis dibagi menjadi dua bagian, yaitu : “[a] Logika Induktif - cara berpikir di mana ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. Untuk itu, penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang yang khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum. [b] Logika Deduktif – cara berpikir di mana pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola berpikir silogismus. Silogismus. Disusun dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. Pernyataan yang mendukung silogismus disebut premis yang kemudian dapat dibedakan sebagai premis mayor dan premis minor. Kesimpulan merupakan pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif berdasarkan kedua premis tersebut(17Jujun S. Suriasumantri 1988, hlm. 48-49) . Contoh – karakteristik berpikir silogismus : [a] Semua makhluk hidup mesti akan mati [premis mayor], [b] Si Pulan adalah makhluk hidup [premis minor], [c] Jadi si Pulan mesti mati [kesimpulan – konklusi].
Kesimpulan bahwa si Pulan mesti mati, menurut Jujun S. Suriasumantri, kesimpulan tersebut adalah sah menurut penalaran deduktif, sebab kesimpulan ini ditarik secara logis dari dua premis yang mendukungnya. Sedangkan pertanyaan apakah kesimpulan ini benar, maka hal ini harus dikembalikan kebenarannya pada premis yang mendahuluinya. Apabila kedua premis yang mendukungnya benar, maka dapat dipastikan bahwa kesimpulan tersebut benar. Tetapi dapat saja kesimpulan tersebut salah, walaupun kedua premisnya benar, sebab cara penarikan kesimpulannya salah. Selanjutnya Jujun S. Suriasumantri, mengatakan ketepatan penarikan kesimpulan tersebut tergantung pada tiga hal yaitu : [1] kebenaran premis mayor, [2] kebenaran premis minor, dan [3] keabsahan pengambilan keputusan. Oleh karena itu, apabila salah satu dari ketiga unsur tersebut tidak memenuhi persaratan, maka kesimpulan yang diambil atau diputuskan akan salah.
Contoh berpikir induktif, simpulan yang diharapkan berlaku umum untuk suatu kasus, jenis, dan peristiwa, atau yang diharapkan adalah agar kasus-kasus yang bersifat khusus dapat dimasukkan ke dalam wilayah umum, yang menjadi simpulan. Misalnya : [1] P – penduduk desa A = adalah pegawai, [2] Q – penduduk desa A = adalah pegawai, [3] R – penduduk desa A = adalah pegawai, [4] S – penduduk desa A = adalah pegawai, [5] Y – penduduk desa A = adalah pegawai, [6] Z – penduduk desa A = adalah pegawai. Kesimpulan – jadi semua penduduk [ P sampai Z ] yang mendiami desa A adalah pegawai. Menurut Kasmadi, dkk., pola berpikir ini adalah berpikir induksi komplet.
C. Simpulan
Berpikir merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan. Untuk menemukan hasil dari berpikir ilmiah diperlukan berbagai kriterianya. Sebagaimana diketahui kriteria berpikir ilmiah adalah Objektivitas, Generalisasi dan Sistematisasi.
Kemudian kematangan berpikir ilmiah sangat ditentukan oleh kematangan berpikir rasional dan berpikir empiris yang didasarkan pada fakta (objektif), karena kematangan itu mempunyai dampak pada kualitas ilmu pengetahuan. Sehingga jika berpikir ilmiah tidak dilandasi oleh rasionalisme, empirisme dan objektivitas maka berpikir itu tidak dapat dikatakan suatu proses berpikir ilmiah. Karena itu sesuatu yang memiliki citra rasional, empiris dan objektif dalam ilmu pengetahuan dipandang menjamin kebenarannya, dengan demikian rasionalisme, empirisme dan objektivitas merupakan dogma dalam ilmu pengetahuan. Jadi untuk menghasilkan buah dari berpikir ilmiah dharus melalui beberapa tahapan. Yang pertama, objektivitas ; adalah sesuatu yang penting dan merupakan suatu bentuk pengujian dari sebuah kebenaran yang ingin dicapai dalam proses berpikir ilmiah itu sendiri. Kedua, generalisasi ; adalah suatu proses penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomena khusus menuju kesimpulan umum yang mengikat seluruh fenomena sejenis dengan fenomena khusus yang diselidiki. Ketiga, sistematisasi ; untuk menghasilkan sebuah pemikiran yang baik dari berpikir ilmiah harus melalui cara yang teratur dan tepat, karena tanpa ketidakteraturan berpikir ilmiah akan menghasilkan sesuatu yang meragukan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Chaedar Alwasilah, 2008, Contextual Teaching dan Learning : Menjadikan Kegiatan Belajar Mengajarkan Mengasyikkan dan Bermakna, Bandung, Mizan Learning Center
Ani Kartikasari, 1999, CIFOR.Acuan generik kriteria dan indikator CIFOR, Tim Kriteria dan Indikator, Bogor, CIFOR, Grafika Mardi Yuana.
Chalijah Hasan, 1994, Dimensi-dimensi Psikologi Pendidikan, Jakarta, Al Ikhlas.
Cholid Narbuko, 1997, Metode Penelitian, Jakarta, Bumi Aksara.
Daldiyono Hardjodisastro, 2006, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
Eko Endarmoko,2007, Tesaurus bahasa Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
Hartono Kasmadi, dkk.,1990, Filsafat Ilmu, IKIP Semarang Press.
Hidajat Nataatmadja. 1984b. Pemikiran ke Arah Ekonomi Humanistik: Suatu Pengantar Menuju Citra Ekonomi Agamawi. Yogyakarta, Penerbit PLP2M.
Hiro Tugiman, Pandangan Baru Internal Auditing, The New Internal Auditing, Yogjakarta,Kanisius.
Husein Umar, 2004, Metode Riset Ilmu Administrasi, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama
Husein Umar,2005, Riset Sumber Daya Manusia Dalam Organisasi, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
Husen Umar, Metode Riset Ilmu Administrasi, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
Ismail Kusmayadi , 2006, Think Smart Bahasa Indonesia, Jakarta, PT Grafindo Media Pratama
Jujun S. Suriasumantri, 1988, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan.
Jujun S. Suriasumantri, 1996, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan.
Kees Bertens, MSC. Pengantar Etika Bisnis, Yogyakarta, Kanisius
Lorens Bagus, 2000, Kamus Filsafat, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
Lorens Bagus, 2000, Kamus Filsafat, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2000
M Jamiluddin Ritonga, 2004, Riset Kehumasan, Jakarta, Grasindo.
Newton, Roger G, 1997: The Truth of Science: Physical Theories and Reality,London, Harvard University Press.
P. Hardono Hadi,1994, Epistemologi : Filsafat Pengetahuan,Yogyakarta, Kanisius.
S.Suriasumantri, 1997, Ilmu dalam Perspektif, Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, Yayasan Obor Indonesia.
S.Wojowasito – W.J.S. Poerwadarminto, 1980, Kamus Lengkap Inggris Indonesia – Indonesia Inggris, Hasta, Bandung.
Simon Petrus L. Tjahjadi, 2004, Petualangan Intelektual, Konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani hingga Zaman Modern, Yogyakarta, Kanisius.
Slameto Suseno, 1986, Teknik Penulisan Ilmiah Populer, Jakarta, Gramedia.
Taryadi, Alfons, 1989, Epistemologi Pemecahan Masalah, menurut Karl R.Popper, Yogyakarta, Kanisius.
Tim Dosen Filsafat Ilmu, 1992, Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, Yogyakarta, Liberti.
Tim Dosen Filsafat Ilmu, 1996, Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, Yogyakarta, Liberty.
Widjono Hs, 2007, Bahasa Indonesia Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi : Mata kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi, Jakarta, Grasindo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar